Aku meremas kedua tangan saat kak BIMA memberitahu kalau kami harus membuat fansbase. Sejalan dengan yang sudah disampaikan Mr. Wishnu seminggu lalu, di babak SHOW DREAM 1 kami memang akan bernyanyi tidak hanya di hadapan 5 juri, tapi juga di hadapan penonton. Maka dari itu, masing-masing finalis diminta membentuk fansbase dan meminta mereka datang ke studio untuk memberikan dukungan dan tentu memeriahkan penampilan para calon idols .
Beberapa saat aku terdiam. Lalu dengan ragu aku mengangkat tangan. "Kak Bim, maaf. Jujur saya datang ke Jakarta hanya sendiri. Semua saudara dan teman saya ada di Yogyakarta dan Surabaya. Saya tentu tidak bisa meminta mereka untuk datang ke sini. Jadi maaf banget kalau saya belum bisa mendatangkan supporter nanti saat SHOW DREAM 1,"
Kak Bima menatapku penuh rasa iba, sebelum akhirnya dia mengangguk dengan senyum. Aku menelan ludah. Apalagi 24 finalis lainnya juga menyerangku dengan tatapan serupa.
"Bagi yang belum bisa mendatangkan teman atau saudara untuk mendukung ke studio nggak papa. Nanti akan kita datangkan penonton bayaran. Hehe," kak Bim mencoba menghiburku dengan candaannya yang lucu seperti biasanya. Aku tersenyum lega. Aku benar-benar berharap nanti akan ada seseorang yang datang untukku dan menyemangatiku.
"Gue punya banyak saudara kok Sav. Tenang, gue bagi saudara dan temen-temen gue buat loe," Nana merangkulku dengan tangan mengepal memberi semangat. Aku mengangguk, mencoba optimis.
"Gue juga bagi supporter gue buat loe, Cum!" kali ini Sean ikut-ikut merangkulku. Aku menyikut perutnya.
Darren yang duduk di belakangku mencolek bahuku. Aku menoleh. "Gue juga bakal bantuin loe." Laki-laki itu memberiku senyum tulus.
Aku tersenyum haru. Hal yang sejujurnya selalu aku syukuri diantara kerja keras, kelelahan, dan kepenatan yang mendera beberapa minggu ini adalah hadirnya orang-orang yang menyanyangiku, berkenan memikirkan kebaikanku dan mencoba memberi andil dalam hidupku.
"Jadwal kalian habis ini pemilihan lagu ya. Pikirkan baik-baik diantara 5 lagu yang sudah kalian pelajari 2 hari ini, mana yang menurut kalian paling kalian kuasai dan kalian yakin bisa membawakannya dengan baik dan spektakuler. Mr. Andi dan Mr. Yama tetep akan kasih kalian rekomendasi. Jadi gue harap kalian bisa kasih pertunjukkan semaksimal yang kalian bisa,"
Setelah menyuruh kami ke ruangan latihan sesuai kelompok kami masing-masing, kak Bima ijin kembali ke kantor pusat. Nana mendekap lengan kananku. Bella tiba-tiba sudah ada di sisi kiriku. Di sebelahnya ada Alice. Oh tidak! Ada juga Sean yang kelihatannya sedang berebut tempat dengan Alice agar bisa berjalan di samping Bella. Huh! Aku menggeleng putus asa. Benar-benar persis dua anak kecil berebut perhatian seorang ibu.
"Udah nentuin lagu mana yang bakal loe nyanyiin Na?" aku menoleh ke arah Nana. Nana menggeleng. Dua hari ini Nana memang bolak-balik menyanyikan lima lagu di kamar, saat kami menjelang tidur. Tetapi aku juga belum bisa memilih, andai Nana meminta pendapatku, lagu mana yang lebih bagus dia nyanyikan.
"Mungkin gue bakal nanya aja ama Papah. Biarin dimarahin juga. Gue udah buntet! Bingung milih lagu yang mana,"
Aku mengangguk setuju.
"Kalau Bella sudah nentuin mau nyanyiin lagu apa?" kurasa Sean berhasil mengalahkan Alice. Lihat aja, si Buaya itu sudah ndempel aja di samping Bella, sedang Alice berjalan di samping Sean dengan bibir manyun.
"InsyaAllah sudah Sean. Semoga Papah setuju dengan pilihan aku,"
"Aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik." Sean menggenggam jemari Bella dan mengangkatnya. "Semangat Bella!"
"Ngeh.. tangan.. tangan. Buaya di mana-mana pinter banget ya curi kesempatan." Aku berceloteh sambil berjalan lebih cepat. Sean menyusulku. Aku menyadari tangan Bule itu mengincar kepalaku. Aku menghindar dan berlari menuju ke lift, setelah sebelumnya menantang Sean. "Tangkap gue kalau bisa. Dasar Buaya darat!"
"Awas lo ya Savina!!" aku masih bisa mendengar teriakan kesal Sean. Aku tertawa puas.
"Savina jangan buat onar napa! Hoy!" Nana juga berteriak. Aku tak peduli.
Aku melihat seseorang berhoodie masuk ke lift, lalu menekan tombol. Pintu lift mulai tertutup. Aku semakin mempercepat lariku. Dan Ya! Aku kembali berhasil menjangkau pintu lift sebelum akhirnya ia tertutup rapat.
Aku masih tertawa puas sambil mengatur nafas, saat tiba-tiba manusia berhoodie itu memegang pundakku dan memaksaku menghadap kepadanya.
"Bisa lebih anteng nggak jadi cewek!"
Aku membelalakkan mata. Antara terkejut dan bingung, mendapati laki-laki ini di sini, berdua denganku di lift, memandangku dengan tatapan dalam dan mengatakan hal yang aku bingung bagaimana menjawabnya.
<<>>

KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...