Jealous

413 19 1
                                    

Manusia-manusia hactic yang berjalan dan berlari ke sana-ke mari. Finalis yang berdiri di depan kaca sambil berlatih olah vocal, stage act dan mendalami lagu. MUA yang bekerja seperti dikejar harimau. Fashion stylist yang juga tidak kalah heboh menata pakaian yang harus dikenakan finalist. Kameramen yang juga sibuk mengitari studio make-up untuk mengambil gambar.

Aku tak pernah melihat pemandangan semenggemparkan ini. Ternyata menyiapkan pertunjukan dengan melibatkan penonton dan disiarkan secara live di televisi itu membutuhkan begitu banyak aspek dan detail yang tidak bisa dialpakan walau sedikit. Aku yang sudah selesai make-up dan pun sudah memakai wardrobe yang disiapkan kak Rona sang fashion stylist yang baru kukenal dua jam lalu, berusaha untuk memecah suasana yang sudah mulai tegang.

Saat kamerawan menyorotku, aku langsung mengerahkan seluruh kemampuan public speaking yang kupunya. Aku mencoba untuk beradegan mewawancarai Sean yang baru saja selesai di touch-up.

"Hai buaya! Eh maksudnya hai Sean. Bagaimana perasaan anda sebentar lagi mau tampil?"

"Yang sebentar lagi mau tampil kan anda Cumi! Eh maksudnya Savina. Anda adalah artis pembuka live SHOW DREAM hari ini. Kalau aku kan artis penutup. Jadi nanti gue nyanyinya paling terakhir guys," Sean mendekat ke arah kamera dengan penuh percaya diri.

"Ngomong-ngomong video anda minggu lalu saat SHOW TIME trending lho Sean, mungkin anda ingin mengucapkan terimakasih kepada fans-fans yang sudah mendukung anda selama ini," aku mulai cekikikan. Sean menatapku gemas, merasa kujahili.

"Oh iya iya. Aku sangat berterimakasih kepada fans-fans yang sudah mendukung aku. Bersyukur sekali dan tidak menyangka video aku bisa trending 1. Semoga kedepannya aku bisa terus memberikan penampilan yang terbaik buat—"

"Oke. Kita lupakan sejenak Sean dengan trending 1 nya. Kita akan melakukan hal yang lebih menarik. Ya! kita akan menggerebek mafia lato-lato! Sini-sini ikutin aku guys." Aku tertawa dan berjalan ke ruang fitting room. Sang kamerawan dan satu crew lainnya mengikutiku. Sedang Sean hanya melongo, semakin kesal karena perkataannya kupotong begitu saja. 

"Jangan bergerak! Kalian pasti sedang transaksi ya?" aku membentuk pistol dengan jari telunjuk dan jempolku, mengarahkannya ke Darren, Rama, Nick dan Harsh.

"Ada apa ini? Ada apa?" Harsh si galak yang baru akrab denganku beberapa hari ini, spontan men-support jokes yang aku buat. Laki-laki itu malah sampai mengangkat tangan dan menunduk. Sudah persis penjahat sedang disergap beneran.

"Kalian mafia kan? Ayo ngaku! Mafia itu dimana-mana yang keren dikit napa. Mafia beras, mafia ikan salmon, atau apa kek! Ini mafia lato-lato! Apaan!"

Aku menutup mulut karena sudah tak kuasa menahan tawa.

"Idih! Loe tahu aja gue punya lato-lato Sav," Harsh kembali menanggapi. Alisnya terangkat menggoda. Aku nge-lag sekejap, untuk kemudian tawaku meledak. Jangan tanya Darren, Rama dan Nick. Ketiga laki-laki itu tertawa tak kalah heboh.

Wait.

Nick juga tertawa guys!

Laki-laki jaim, si boneka salju ternyata bisa tertawa juga.

"Loe itu mau tampil bukannya latihan dan berdoa, malah becanda terus," Harsh memukul pelan bahuku saat kamera sudah off dan crew ijin keliling ke sudut lain untuk mengambil spot berbeda.

"Kemarin gue sudah latihan Harsh, becanda kaya gini ampuh hilangin grogi,"

"Gue juga heran, jadi cewek nggak ada anteng-antengnya." Nick ngedumel sendiri dengan suara pelan. Tapi telingaku masih bisa mendengarnya.

"Udah dua kali ya loe ngomong gitu ke gue,"

Nick tidak lagi merespon. Ia hanya menunjukkan senyum setipis kulit crepes.

"Tapi sisi menariknya Savina itu malah di ramenya lo guys," Seperti biasa Darren mampu menjadi garda terdepanku. Aku mengangkat tinju dan mengajaknya tos tinju.

"Loe emang terbaik bang!"

"Bang? Sejak kapan panggil abang?" kali ini Nick berucap tanpa senyum di wajahnya. Rama mendekati Nick lalu menepuk punggungnya.

"Loe nggak lagi cemburu kan bro?"

Nick bengong, menyentuh hidung. "Cemburu? Gue? Nggak!"

Aku menyebik. "Nick itu udah punya pacar guys,"

"Pacar darimana!" oktaf suara Nick mulai naik.

"Tuh!" aku menunjuk gelang di tangannya dengan gerakan kepalaku. Nick melihat tangannya, lalu membuang muka. Darren, Harsh dan Rama tertawa menggoda dan mulai memberondong Nick dengan beragam pertanyaan. Nick mulai hilang kesabaran. Laki-laki itu spontan menarikku keluar dari fitting room. Aku meneriakinya.

"Loe nggak sadar kamera di mana-mana? Fyp tahu rasa loe!"

"Fyp-fyp biarin dah!"

"Dih!"

"Lepasin nggak!"

"Nggak!"

Nick bandel. Aku panik, menengok kanan kiri, depan belakang. Satu hal yang harus kusyukuri, lorong dimana kami berjalan dan tarik-tarikan sedang sepi manusia. Kebanyakan memang di make-up studio, fitting room dan backstage. Langkah Nick mulai melambat saat kami mendekati pintu backstage. Tepat di depan pintu coklat tua, laki-laki itu berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.

"Masuk. Anteng. Fokus. Loe akan nyanyi beberapa menit lagi. Jangan main-main terus."

Sumpah. Untuk kesekian kali beruang kutup ini berhasil membuatku kicep. Aku hanya bisa berdiri diam di depan pintu backstage sambil menatap punggungnya yang menjauh, berjalan kembali ke fitting room.

<<>>

IDOLS IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang