Pagi ini semua berjalan seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku berlari santai mengelilingi komplek. Nana seperti biasa terlalu malas untuk bangun pagi. Jadi aku tidak berminat untuk mengajaknya.
Earphone yang terpasang di telinga mengalun lagi rock and roll. Aku sedang tidak bersemangat hari-hari ini, jadi aku ingin memompa semangat dengan mendengarkan lagu-lagu berenergi.
"Hei!" Aku mengenali suara ini. Sean, si manusia durjana kembali berulah. Dia melompat dan memperangkap leherku dengan dua tangannya. Mengapitnya dengan gemas.
"Sean! Ih! Gue nggak bisa nafas,"
"Salah sendiri lari nggak ngajak-ngajak,"
"Loe kan tukang molor. Mana tahu gue, lo udah bangun jam segini."
"Pokoknya mulai besok loe harus ajak gue setiap loe lari pagi."
"Nggak janji!"
"Oke!" Laki-laki itu semakin mengeratkan jepitan tangannya di leherku. Aku memukul kedua tangannya. "Loe nyebelin banget sih! Loe mau bikin gue ketemu Tuhan." Aku berusaha menarik kaitan dua telapak tangannya. Tapi tak berhasil.
"Sean! Please. gue belum jadi idols. Loe jangan macem-macem. Kalau ada apa-apa sama gue. loe bakal diperjara!"
"Mana gue peduli,"
Aku menggemeretakkan gigi menahan kesal. Sekali lagi aku mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri. Dan Yes! Aku terbebas. Tak banyak menunggu waktu aku langsung menoyor kepalanya.
"Berani loe ya ama gue! Nih rasain loe," Aku melompat-lompat demi menjangkau kepalanya. Tahu sendiri laki-laki blesteran ini tingginya sepohon kelapa.
Sean tertawa renyah. Terlihat begitu bahagia. Aku sendiri, entah bagaimana caranya, tiba-tiba mulai memaklumi keberadaan Sean di hidupku dengan sikapnya yang upnormal dan sangat menyebalkan.
"Misi mau lewat!" 'pertengkaran' antara aku dan Sean diintervensi oleh seseorang. Seseorang itu menarik tanganku, memisahkan aku dan Sean, berdiri diantara kami berdua.
"Kalian kalau mau berisik, mending di karantina. Jangan di jalan. Gangguin tetangga tidur."
Aku dan Sean saling memandang. Bingung. Aku mendongak, mendekat ke wajah laki-laki yang memakai jumper hitam. Tudung sewarna menutupi kepalanya. Keningku mengerut, sulit menerka siapa gerangan laki-laki itu, apalagi suasana pagi belum sepenuhnya terang.
Saat aku masih sibuk menebak, mencoba menatap lamat kedua mata tajamnya. Laki-laki itu mendadak mendekatkan wajah. Kontan, aku mundur. "Eh, mau apa?"
"Kalau nggak salah loe Nick kan?" Aku melihat Sean menyentuh pundak laki-laki itu, menariknya pelan, menjauhkannya dariku.
"Kenalin gue Sean." Sean menyodorkan tangannya, ingin bersalaman.
Laki-laki yang dikenal Sean sebagai Nick menerima uluran tangan Sean. Mereka bersalaman. "Iya, gue Nick."
Sean tersenyum. "Ngomong-ngomong loe juga rajin lari pagi nggak? Kalau iya mulai besok ajak gue ya. Daripada sama Savina. Dia galaknya minta ampun, persis preman terminal."
"Loe! Masih aja cari gara-gara ama gue!!" Aku menaikkan oktav suaraku.
"Tuh kan! Suaranya udah kaya abang-abang tukang malak!"
"Sean!"
"Kalau nggak mau kena semprot bang lampir mending lari. Hiiii!"
Sean lari dengan tawanya yang menguras emosi. Nick ikutan berlari di belakang Sean. Aku mengejar mereka dengan omelan yang tak henti-henti. Awas aja loe Sean!
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...