"Gue suka,"
Aku mendongak saat selintengan kalimat mengambang itu terdengar di telingaku. Darren yang tersenyum begitu manis tertangkap di kedua retina mataku. Aku tidak tahu bagaimana cara kerja otakku, tapi aku merasa ada sigyal-sigyal menyuruhku untuk menunduk dan tersipu.
"Suka?" aku menanyakan kata itu dengan ragu. Entah kenapa tiba-tiba aku berdebar menanti jawaban Darren. Udara di teras gedung ini juga terasa lebih panas dari kemarin.
"Gue suka sama suara loe," lanjutnya dengan suara kalem.
Aku memutar bola mata. "Oh, suka sama suara gue. Gue kira—"
"Loe kira apa?" Aku melihat sneakers bergaris hitam milik Darren mendekat ke arahku. Aku seketika mundur. Kuremas kedua tangan yang tiba-tiba berkeringat.
"Nggak apa-apa. Loe nggak makan siang?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang kurasa mulai kemana-mana. Kuberanikan diri untuk mengangkat wajah dan menatapnya.
"Tuh lihat, antriannya kaya ular," Darren menunjuk ke arah ruang makan. Aku menoleh mengikuti arah telunjuk Darren. Di ruang makan itu memang berjejeran manusia termasuk Sean dan Nana, yang kelaparan karena makan siang tertunda sampai pukul 15.00 wib.
"Loe sendiri nggak makan?"
Aku menggeleng. "Nanti saja,"
"Kalau gitu gue temenin ya. Nanti kita makan siangnya sama-sama kalau keadaan udah sepi,"
Walau ragu, aku mengangguk setuju. Darren kembali tersenyum. Aku heran, kenapa ada laki-laki sesumeh ini. Dia seperti mempunyai lengkung senyum di mata dan bibirnya. Setiap berbincang dia tak lupa menampilkan senyum, seakan ingin menebarkan berjuta kebahagiaan kepada setiap orang.
"Gue sebelumnya nggak notice sama sekali sama loe, Sav. Kalau bukan karena kita 1 team. Gue nggak akan tahu kalau ada finalis yang sehebat loe."
Aku menepuk lirih lengan Darren. "Ah, loe nggak perlu puji gue selebay itu. Gue lagi nggak punya ampau buat dikasihkan ke loe. Lagian masih bagusan suara loe kali."
Darren menggeleng. Masih dengan senyumnya. "Loe selalu mampu menemukan nada-nada indah di setiap lagu yang loe nyanyiin. Dan ajaibnya nada-nada yang loe nyanyikan selalu bisa menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Itu yang nggak bisa gue lakuin,"
"Sok tahu ih,"
"Gue dua hari ini maraton lihat video loe di yo*tube, jadi gue tahu performa loe. Bener kata juri, loe emang punya musikalitas yang luar biasa,"
"Darren," Aku memanggil Darren dengan senyumku yang sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku tidak menyangka ada seorang laki-laki yang akan memujiku seniat itu.
"Besok gue traktir mau?"
Darren tertawa. Akupun melakukan hal yang sama. Tawa kami sedikit mereda saat ada notifikasi whatapps masuk di handphoneku. Ada tampilan nama Sean di handphone yang kupegang.
Sean : Gue cemburu
Aku mengisyaratkan kepada Darren kalau aku harus membalas pesan yang masuk ke handphoneku. Dan Darren cukup mengerti. Laki-laki itu menggeser badannya sedikit menjauh dan mengeluarkan handphonenya sendiri.
Savina : Cemburu?
Aku melongok ke ruang makan. Mencoba mencari Sean. Laki-laki itu duduk semeja dengan Nana. Sorot matanya tajam menatapku, dengan bibir menye-menye kesal.
Sean : Loe jangan deket-deket ama Darren napa?
Savina : Ih, apaan sih loe Sean.
Sean : Gue nggak suka besti tercinta gue deket ama cowok lain
Savina : Loe kesambet?
Sean : Btw kenapa juga Nick lihatin loe kaya gitu?
Aku mengkerutkan kening. Maju beberapa langkah kearah pintu masuk, mencoba menyapu pandangan di ruang makan. Kali ini mencoba menemukan Nick. Dan ya, aku mendapatinya duduk di ruang tengah. Kami bersitatap. Beberapa detik, karena notifikasi handphoneku kembali menginterupsi.
Sean : Nick suka sama loe?
Savina : Suka dari mana?!
Sean : La kenapa dia dari tadi lihatin loe sama Darren udah kaya orang cemburu.
Savina : La mana gue tahu. Tanya aja sendiri.
Sean : Savina!!!!!
Savina : Sean!!!!!
Aku menatap Sean sambil mengempalkan tangan ke atas. Tanda aku sudah mulai naik darah menghadapinya. Sean tak kalah seram memelototiku. Tak lama aku malah tersenyum gemas. Sean yang kesal sambil makan itu ternyata lucu sekali. Persis anak panda lagi cemberut.
Senyumku mendadak hilang karena tiba-tiba Nick sudah muncul saja di teras. Laki-laki itu mendekati Darren dan menarik tangannya. "Yuk makan,"
"Gue makannya nanti Nick. Nunggu sepi." Darren mencoba menahan tarikan tangan Nick.
"Sekarang aja, udah!" Nick kembali menarik tangan Darren. Tepat saat melewatiku, Nick berhenti, berbisik ke telingaku.
"Makan! Jangan kebanyakan ngobrol nggak jelas!"
Aku baru saja ingin menjawab ucapan Nick. Tapi laki-laki aneh itu sudah lebih dulu melanjutkan langkah, dengan membawa paksa Darren yang tetap belum ingin makan siang.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
Ficțiune generalăAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...