Malam pukul 23.00 wib. Aku keluar menuju ke balkon ruang latihan personal. Ruangan ini lebih kecil dari ruang latihan inti. Hari ini aku sengaja menambah jam latihanku, karena lusa adalah jadwal SHOW TIME 1 dan aku merasa ada beberapa part di lagu yang aku belum bisa menguasainya. Tadi setelah makan malam aku sudah bilang ke Nana kalau aku akan ke sini. Nana tentu menyambut baik, karena dia juga ingin melanjutkan latihan di kamar.
Tapi bukannya berlatih, aku malah sibuk mengirim pesan ke sepupuku yang di Surabaya. Aku meminta tolong padanya untuk membuat akun fanbase. Tadi siang semua finalis sudah menyetor nama akun fanbase mereka beserta list 30 orang yang bersedia datang ke studio. Dan jujur kenyataan bahwa aku belum menulis satu namapun dan akun fanbase yang sama sekali belum jadi membuat nyaliku menciut. Bagaimana kalau sampai SHOW DREAM 1 berlangsung tak ada seorangpun yang akan menontonku?
Bayu. Sepupu dari pihak ibuku menelepon. Aku segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum bang,"
"Waalaikumsalam. Akunnya udah jadi Sav. Followernya juga sudah ada, tapi belum banyak. Abang akan usahain biar followernya nambah terus. Kamu konsen aja ke nyanyi. Jangan mikirin fanbase."
"Makasih bang,"
"Oh iya, tapi maaf, untuk SHOW DREAM 1 mungkin abang belum bisa datang ke Jakarta. Ada beberapa pekerjaan yang nggak bisa abang tinggalin. Bulik sama paklik juga lagi nggak enak badan kan? Jadi kasihan juga kalau harus memaksa ke Jakarta besok,"
"Iya nggak papa bang. Aku sudah makasih banget abang mau bantuin buat akun fanbasenya, Ya udah ya. Aku tutup dulu bang."
"Iya, assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Aku meremas handphoneku yang baru saja kuambil dari kak Alina, sang guru BP, beberapa jam lalu. Aku mulai merasa sesak. Nana, Sean, Darren, dan Rama masih menyakinkanku bahwa mereka akan membantuku. "Nanti foto kamu akan aku berikan ke supporterku Sav. Tenang aja. Jadi pas kamu nyanyi mereka akan menjadi supportermu sepenuhnya." Nana tadi mengatakan itu sebelum aku keluar kamar.
Tapi entah kenapa aku tak sepenuhnya bahagia dengan ide itu.
Karena tetap saja mereka datang bukan untuk menontonku.
Mereka adalah supporter Nana. Bukan supporterku.
Aku seperti tengah membohongi semua orang, termasuk diriku sendiri.
"Masih mikirin tentang fansbase dan supporter Sav?"
Aku menoleh ke belakang. Darren berjalan ke arahku dengan membawa dua cangkir minuman yang masih berkebul asap.
Aku tersenyum memelas. Nyatanya diantara 25 finalis hanya aku yang bermasalah dengan fansbase dan supporter. Finalis lain ada yang asalnya dari luar kota, tetapi entah kenapa mereka semua tidak merasakan kesulitan yang kurasakan.
"Nih." Darren memberikan satu cangkir yang ternyata berisi teh panas. Aku menerimanya, dan seketika hangat dari sisi cangkir kaca itu merambat ke telapak tanganku.
"Aku akan bantuin loe Sav. Jadi jangan khawatir,"
"Iya bang, iya." Aku mengangguk dengan senyum tipis.
Darren duduk di sampingku, lalu menselonjorkan kaki dan menatap jauh ke ujung langit yang kelam. "Sama kaya kamu, aku juga datang dari luar kota. Tapi satu keberuntunganku, aku masih memiliki saudara dan teman di sini. Seperti yang akan dilakukan Nana, aku juga akan membaginya dengan kamu."
Aku kembali mengangguk, lalu meniru Darren, menatap ke ujung langit, sembari menghirup sebanyak-banyaknya udara malam.
"Kamu emang datang ke Jakarta seorang diri Sav, tapi yang harus selalu kamu ingat. Kamu nggak sendiri di sini. Ada gue yang akan selalu ada buat kamu."
Aku berpaling, menatap wajah Darren. Laki-laki itu tersenyum dengan begitu tulus. Ajaibnya senyum itu menjelma seperti cangkir teh hangat yang terkait di jemariku.
Akutak yakin, tapi aku mampu merasakannya. Senyum Darren indah dan berhasilmenghangatkan hatiku.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
Художественная прозаAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...