One Step Closer

1.5K 41 0
                                    

Jika ada yang berkata ucapan adalah doa. Mungkin aku akan menambahkan sedikit hiperbola di sana. Bahwa bahkan untuk sebuah bisik di hatimu, dan sangkaan yang menyelisik di pikiranmu, dia adalah doa yang bisa saja terkabulkan di waktu yang tak terduga.

Contoh saja diriku. Saat aku merasa harapan ayahku begitu besar kepadaku, aku menjadi begitu rajin berpikiran "bagaimana kalau aku gagal lagi? Bagaimana jika aku membuat ayah kecewa lagi?". Dan benar saja. Berulanglah, aku GAGAL. 9 kali kegagalan yang jujur membuat mentalku jatuh. Sekeras apapun aku mencoba memoles keramik pecah dalam diriku, seolah itu semakin membuatnya hancur dan tak berbentuk.

"Cobalah lagi Sav, mumpung ada kesempatan," Diandra, teman 1 kostku berusaha membujukku seminggu yang lalu.

Aku menggeleng. Aku bisa menahan kegagalan yang kesepuluh kali, atau bahkan kesekian kali. Aku bisa menahan kesakitan dan kekecewaan itu sendiri. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban jika nanti ayah bertanya, bagaimana audisinya nak?

Akan bagaimana aku menjawabnya?

"Bagaimana kalau kamu lolos kali ini?"

"Itu prosentasenya hanya 1 % din."

"1 % bisa terjadi jika itu sudah jadi takdirmu Sav. Loe kok nggak seoptimis biasanya. Kenapa?"

"Lo tahu sendiri. Gue nggak bisa lihat ayah gue kecewa untuk kesekian kali."

"Gue pikir ayah lo nggak pernah kecewa ama lo. Yang ada dia selalu bangga punya anak cantik dan rajin macam loe."

"Ihh! Apaan!"

Diandra tertawa. "Kemarin ayah juga minta loe ikut audisi kan?"

Aku menggeleng. "Ayah cuman nanya, gue bakal daftar nggak?"

"Dan lo jawab apa?"

"Nggak."

"Lah?"

"Emang gue nggak punya minat buat daftar dan ikut audisi."

"Dih. Anak orang dibilangin susah amat."

Aku menyebik. Gemas dengan Diandra yang mulai hilang kesabaran membujukku.

"Gue juga lagi nggak enak badan Din. Sentuh nih. Panas badan gue. Kalaupun ikut audisi, hasilnya nggak akan maksimal. Udahlah nggak usah maksa gue. Gih sono balik kamar loe. Gue mau istirahat."

Diandra adalah manusia menjengkelkan yang tidak akan patuh jika kamu nasihati. Otaknya disetting bekerja bertolak belakang dengan perintah yang diberikan. Lihat saja, karena ulahnya yang menyeretku ke sini hari ini, diantara badanku yang demam, kepalaku yang pusing dan rasa pahit di lidahku, aku akhirnya mendapati selembar STAR GOLD tiket ini tergenggam di jemariku.

"Apa ku bilang. Kamu pasti bisa lolos Sav." Diandra merangkulku. Ada bening di sudut matanya. Aku tersenyum. Membalas rangkulannya dengan pelukan.

"Habis ini makan yang banyak. Minum vitamin. Minggu depan kamu harus ke Jakarta," pesannya dengan suara parau.

Aku mengangguk. "Terimakasih buat semuanya Din. Aku minta tolong jangan bilang sama ayahku dulu ya. Tahap yang harus gue laluin masih banyak. Gue takut—"

Diandra melepaskan pelukan. "Nggak ada salahnya bilang sama ayah lo Sav. Sekalian bilang juga sama ibu loe. Minta doa ke mereka. Supaya jalan loe semakin dipermudah. Asal lo tahu. Doa orang tua itu doa paling mujarab."

Aku mengelap air mata. Betul juga. Alih-alih berpikiran takut akan mengecewakan ayah ibu jika aku gagal, kenapa aku tidak yakin saja akan berhasil dengan doa makbul mereka?

<<>>

IDOLS IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang