Hari ini adalah babak SHOW TIME 1. Ada 40 finalis dan 10 finalis dipastikan harus tersisih setelah seleksi hari ini berakhir. Aku menatap kedua telapak tanganku yang mulai berkeringat. Selalu deh. Aku memaki diriku yang nyatanya masih bisa merasakan gugup dan gemetar di situasi yang sudah sering kulewati di masa-masa dulu.
"Semoga kita bisa lewatin show ini dengan baik ya Sav." Ucapan Nana menarik perhatianku dari telapak tangan basahku.
Aku mengangguk. Sesungguhnya keinginanku untuk lolos babak SHOWTIME 1 begitu besar, lebih besar dari keinginan-keinginanku sebelumnya. Ku sapu pandanganku ke seluruh ruangan. 40 finalis berpapan dada nomor peserta terlihat begitu sibuk lalu lalang. Ada yang bernyanyi pelan, ada yang berlatih pernafasan, ada yang beraktifitas fisik ringan, ada yang makan siang, bahkan ada yang tiduran.
Jam bulat yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 12.30 wib. Aku hanya duduk diam. Semalaman aku sudah berlatih, entah pernafasan, menghafal kembali lagu, melatih postur tubuh, koreografi, atau improvisasi yang kubuat seunik mungkin. Nana bahkan harus mengomel beberapa kali karena aku menganggu waktu istirahatnya.
Nana berdiri dan merapal doa. Dia menyentuh lenganku. "Ini giliran gue. Tolong doain gue bisa nyanyi dengan baik ya. Semoga juri suka dengan penampilan gue."
Aku mengepalkan tangan. Fighting Nana!
Senyum lebarku memudar seiring dengan langkah Nana yang menjauh, berjalan menuju ke studio SHOWTIME. Tinggallah aku sendiri, diam-diam mengeja doa pengabul keinginan. Sungguh, saat ini aku benar-benar sadar bahwa jalan satu-satunya lolos ke babak berikutnya adalah merayu KepadaNya.
"Hai," Perhatianku kembali teralihkan. Kali ini oleh seorang laki-laki blesteran bertubuh tinggi. Aku mengangguk seadanya.
"Sudah tampil belum?"
Aku menggeleng.
"Jangan terlalu tegang! Santaaaii Booztt!" Ucapnya sambil meninju pelan pundakku. Aku memelotot kepadanya. Waah. Siapa ini? Belum kenal sudah berani main tangan!
"Maksud gue, semakin lo tegang. Hasilnya bakal nggak sebagus yang lo harepin. Anggap lo lagi main-main aja. Gue jamin lo bakal enjoy the music,"
"Gue nggak tegang."
"Diam kaya patung gitu dibilang nggak tegang. Nih. Gue kasih lo coklat,"
Kembali, aku melebarkan mata melihat laki-laki itu menyodorkan sebuah coklat berbentuk daun waru. Maksudnya apa coba memberikanku coklat? Ingin suaraku serak dan fals? Wah, sungguh serigala berbulu domba.
"Nggak usah. Terimakasih."
"Gue beneran tulus bro,"
"Bro..bro.. sejak kapan gue brother-an ama elu?"
Laki-laki bule itu tertawa. Dengan terang-terangan dan berani dia bahkan merangkul pundakku. Aku semakin mendelik. Melepaskan rangkulannya dengan kasar.
"Lo itu ya.. nggak ada sopan santunnya ama cewek,"
"Lah gue kira cowok!"
"Sumpah! Kita bahkan belum kenalan. Tapi sikap loe udah keterlaluan."
"Hehehe! Maaf..maaf. Gue cuma becanda. Jangan diambil hati ya? Kenalin gue Sean. Asal dari Bali. Jujur dari semua finalis gue tertarik temenan ama lu Savina."
Aku terbengong. Menatapnya tak percaya. Maksudnya apa coba? Kenapa tiba-tiba sudah tahu saja namaku. Perasaan semenjak menginjakkan kaki di karantina aku belum sempat saling mengenal antar sesama finalis. Aku juga lebih banyak diam. Tidak sibuk mencari kenalan. Kok, si Sean Manusia sok asyik ini bisa tahu namaku?
"Hai, alhamdulillah respon juri bagus," Diantara sepersekian detik aku terbengong dengan sikap absurb Sean, Nana berhasil menginterupsi kami. Sean menoleh ke Nana. Begitupun aku.
"Gue tinggal bentar loe sudah dapat mangsa Sav."
"Tolong mulutnya ya!" Aku mencubit lengan Nana dan menarik gadis Betawi itu supaya duduk di sampingku.
"Hai, kenali gue Nana. Gadis Betawi yang super manis. Nggak usah ditambahin gula juga udah bisa bikin loe diabetes,"
Ocehan Nana ditutup tawanya yang terbahak. Aku mencubit pahanya gemas. Rasa-rasanya stok kesabaranku mulai menipis menghadapi dua manuasia abnormal ini.
"Gue Sean. Gue harap bisa akrab dengan loe. Khususnya temen loe satu ini."
Sean melirikku dengan senyumnya yang menurutku sangat menyebalkan. Aku melengos. Malas menanggapinya.
"Habis ini giliran Savina loh. Cepet siap-siap. Good Luck!" Sean kembali melakukan tindakan absurb. Tangannya menepuk pucuk kepalaku pelan. Terasa penuh kasih sayang, andai saja—ya andai saja aku dan dia sudah lama saling mengenal.
Nana tersenyum menggoda. Sean lalu pergi, melangkah ke depan, gantian berbincang entah dengan siapa. Aku mengerjap, mencoba menyadarkan diriku. Please, saat ini bukan waktunya untuk luluh hanya karena sebuah rayuan gombal. Apalagi itu berasal dari makhluk asing yang baru saja dikenal.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...