STAR IDOLS.
Tempat kamu bermimpi besar. Tempat kamu belajar bahwa sebuah mimpi yang besar membutuhkan perjuangan yang sepadan. Tempat di mana kamu sadar bahwa sebuah mimpi besar tidak akan diraih dengan langkah kecil. Kamu harus melebarkan kakimu untuk melangkah. Dan jika terjatuh kamu harus bangkit untuk memulai kembali. Jangan harap ada tempat bagimu untuk berputus asa pun mengeluh.
Aku meletakkan cangkir coklat panas yang semenjak tadi terkait di jemariku. Ku selonjorkan kedua kaki sambil merentangkan kedua tangan, menghirup sepuasnya udara malam yang mulai mendingin. Aku mencoba mengukir senyum, mengirimkan beribu rasa optimis ke dalam sukmaku yang mulai lelah dan penat. Mencoba mengatakan bahwa perjalananku di STAR IDOLS adalah petualangan yang menyenangkan, sembari berusaha mengingat kembali apa yang ayahku katakan beberapa jam yang lalu lewat handphone,
Hal yang membedakan orang biasa dengan orang sukses bukan terletak pada pengetahuan atau kepintarannya nak, melainkan pada kegigihannya dalam meraih impian. Dan ayah selalu menemukan kegigihan itu di diri kamu Savina.
Entah kenapa tiba-tiba kedua mataku memanas.
Ck. Mengingat orangtua selalu mampu membuatku melankolis.
Aku mengibaskan kedua telapak tanganku kearah mata, berusaha menghalau air mata yang sudah berebutan ingin melarikan diri. "Savina bukan anak cengeng. Savina selalu mampu menciptakan bahagianya sendiri. Savina adalah gadis yang optimis!"
Aku merapal peri-peri penyemangatku saat tiba-tiba pintu balkon ruang Latihan pribadi tergeser pelan. Seorang laki-laki yang akhir-akhir ini begitu sibuk dengan gadis lain berjalan lambat mendekatiku, kemudian ikut duduk di sampingku. Kedua kakinya juga diselonjorkan. Benar-benar mengcopy-paste posisi dudukku.
Aku menatapnya penasaran. Ada gerangan apakah laki-laki ini membuntutiku sampai ke sini?
"Ada apa?" Aku memulai pembicaraan, karena satu menit kutunggu laki-laki itu tak jua berbicara.
"Nggak ada apa-apa,"
"Kalau nggak ada apa-apa istirahat sono. Jangan begadang, nggak baik buat badan loe,"
"Loe sendiri selalu begadang, bisa-bisanya nasehatin oranglain,"
"Gue bukan begadang, gue insomnia,"
"Sama aja. Insomnia loe itu karena loe nggak mau berusaha untuk tidur. Coba kalau loe lagi nggak bisa tidur, terus loe usaha buat tidur. Berbaring di tempat tidur kek, memejamkan mata kek. Lama-lama juga bakal tidur. Nggak kaya gini, duduk di sini sendirian, kalau nggak gitu pegang hape. Ya, gimana bisa tidur,"
Aku bengong mendengarkan omelan laki-laki ini.
"Mending balik deh loe. Pusing dengerin loe ngomel,"
"Dih dibilangin,"
Aku menabok lengannya, mendorongnya menjauh. Tapi bukannya pergi, laki-laki ini malah semakin menempel kepadaku.
"Ih, ngapain coba ndempet-ndempet kaya gini. Jauh-jauh deh!"
"Gue kangen loe,"
Aku seketika menoleh menatapnya. Memastikan aku tidak salah dengar.
"Loe bilang apa tadi? Kangen?"
Laki-laki di sampingku mengangguk dengan mantap, tanpa ragu sedikitpun. "Iya!"
"Dih, amit-amit jabang bayik!" Aku menggeser pantatku menjauh.
"Lah, emang kenapa? Nggak boleh gue kangen ama loe?"
"Masalahnya kita ketemu tiap hari kenapa bisa kangen?"
"Kita ketemu, tapi gue nggak ada waktu ngobrol ama loe kaya dulu,"
Laki-laki kesambet itu kini pelan menyenderkan kepalanya ke pundakku. Aku mendorongnya lagi. "Ih, loe kenapa sih!"
"Gue capek. Kaya gini dulu sebentar boleh?"
Akhirnya dengan terpaksa, dan untuk pertama kalinya aku mengijinkan seorang laki-laki menyandarkan kepalanya ke pundakku.
"Maaf akhir-akhir ini gue terlalu sibuk sama Bella," Dia mulai berbicara, lirih dan terdengar serius.
"Gue nggak masalah," Aku mencoba meresponnya.
"Tapi semakin ke sini, gue semakin ngerasa kedekatan gue sama Bella jadi satu masalah di antara gue dan loe,"
"Overthinking lo,"
"Bella gadis yang sangat menarik,"
"Semua orang tahu itu,"
"Dia baik, sopan, dan gue ngerasa gadis seperti itulah gadis impian gue selama ini,"
"Loe nggak salah pilih,"
"Gue seneng Bella juga menerima baik segala perhatian gue,"
"Syukur alhamdulillah,"
"Tapi semakin gue deket sama Bella, semakin gue ngerasa kehilangan loe,"
"Gue masih di sini kok, nggak diculik alien,"
"Gue nggak bisa becanda lagi ama loe kaya dulu,"
"Yuk, sekarang becanda yuk kita,"
Sean, si laki-laki kesambet, mengangkat kepalanya, menatapku dengan kesal. "Loe bisa nggak sih nggak ngerusak nuansa melankolis kita? Loe bisa nggak sih dengerin curhatan gue dulu? Dari tadi tiap gue ngomong selalu loe potong, dengan nada yang seolah-olah loe sama sekali nggak merasa kehilangan sosok gue,"
Aku menatapnya heran. "Lah, gue mencoba ngerespon curhatan loe cumiii, gimana sih! Lagian loe bener, gue emang nggak ngerasa kehilangan loe,"
"Bah! Keterlaluan loe Sav! Jadi selama ini gue aja yang ngerasa galau. Loe nggak?"
Aku mengangguk mantap. Sean langsung manyun dan menundukkan kepala. Aku tersenyum gemas.
"Hei! Kenapa gue harus ngerasa kehilangan di saat loe masih di sini sama gue? Lagian nih ya, gue bahagia banget bisa lihat loe deket sama Bella. Ya, walau kadang gue juga kangen sih loe gangguin kaya dulu. Hehe. Tapi sampai saat ini gue bisa bilang dengan yakin kalau gue dukung loe sama Bella. Dengan catatan loe masih bisa fokus, dan loe juga nggak menganggu fokus Bella. Kita semua di sini untuk meraih mimpi kita kan? Bukan untuk pacaran? Bener kan?"
Sean mengangguk.
"Eh, by the way gue kemarin dapat kabar dari Nana, kalau di luar sana sudah ada shipper kalian loh Sean. Hem.. Namanya apa ya? Lupa gue,"
"SEBEL," Sean nyeletuk dengan mimik lucu.
"Hahahahaha. Iya Sebel. Bener-bener, SEBEL namanya," Aku tidak bisa menahan tawaku. Bisa-bisanya netizen menamai Shipper SEAN BELLA dengan judul "SEBEL"
"Gue juga syok tahu nama Shipper gue sama Bella. Nggak ada nama lain apa? Kenapa harus SEBEL?"
"Tapi lucu loh! Hahahaha!"
Aku memegang perutku karena tidak bisa menahan tawaku yang terlalu ngakak. Sean sampai menabok pahaku dengan kesal. "Gue semakin sebel lihat ketawa loe! Sumpah!"
"Lah itu SEBEL. Cocok berarti. Hahahahahaha!"
<<>>

KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...