Aku menatap pemandangan yang berbeda di depanku dengan mata berbinar. Ini bukan kampungan ya, tolong! Maksudku, aku bukan tarsan yang pertama kali masuk ke kota. Sebelum ini aku juga sering menonton di bioskop. Tetapi, saat ini berbeza kawan! Masuk ke suatu tempat yang dulu terasa biasa setelah beberapa minggu kamu hanya bisa melihat pemandangan yang itu-itu saja, rasanya sungguh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setidaknya bagiku.
"Nikmati hari ini sepuas hati. Kalian free sampai besok." Ucap Mr. Wishnu sebelum kami masuk ke dalam bioskop. 15 finalis mengangguk semangat.
Aku sengaja memilih kursi di deretan tengah. Lokasi yang menurutku benar-benar strategis. Aku menoleh kanan kiri, menantikan Nana dan Darren, karena kami memang sepakat untuk duduk berdekatan. Tak lama dua manusia itu menghampiri. Tetapi Nana malah nyelonong duduk di deretan belakangku. Aku menoleh penasaran. Kenapa juga mamak Betawi ini pindah tempat?
"Loe kenapa di situ? Kursi loe di sini, samping gue,"
"Gue tukar tempat besti,"
"Kenapa? Tukar sama siapa?"
"Sama gue!"
Aku langsung memutar pandangan, menoleh ke samping kananku. Untuk kesekian kali aku melengos. Ya Tuhan, kenapa hari ini Engkau menciptakan skenarioku cukup padat dengannya?
Darren duduk di samping kiriku, Nick duduk di samping kananku. Sean duduk di depanku, menyusul Bella di samping Sean, kemudian Alice, Clara, Rama, Erro dan entahlah, aku mulai tidak fokus dan tidak nyaman.
Sepuluh menit film terputar di layar goliath di depanku. Aku mencoba menikmati moment-moment berharga ini. Darren menggeser wadah popcorn yang semenjak tadi dia bawa. Aku menoleh dan tersenyum, mulai asyik mencomot satu-satu popcorn rasa caramel.
"Gue tadi salah pilih minuman deh! Kenapa milih orange coba," aku mengumam lirih.
"Iya, maag lo lagi kambuh kan kemarin? Mau gue tukar ama punya gue, tapi ini sudah gue minum, gimana?" Darren mengangkat minumannya dengan mimik menyesal.
"Nih,"
Aku melirik kearah sandaran tangan, tempat minumanku diletakkan. Nick, menukar minumannya dengan minumanku. Aku menatapnya dengan kening mengkerut. "Tumben baik,"
Laki-laki itu memasang senyum palsu, sekejap. Aku masa bodoh. Mengambil minumanku, hem.. maksudku minuman Nick dan meminumnya. Satu teguk, lalu berhenti, menyadari satu hal.
Aku kembali menatapnya. Kali ini lebih ke ingin memprotes laki-laki tidak jelas ini. Aku mengangkat minuman di tanganku ke depan mukanya.
"Minuman ini udah loe minum setengah, Woy!" aku menekan suaraku, berusaha agar tidak membuat keributan di tengah keseriusan manusia-manusia yang sedang menonton film.
"Terus?" ucapnya enteng.
"Berarti bekas lo dong!"
"Terus kenapa?"
"Terus kenapa?" aku gantian mencopy-paste pertanyaannya. Tidak habis pikir dengan pertanyaan 'terus kenapa' yang keluar dari bibir Nick. Oke, anggap itu biasa dilakukan sepasang kekasih. Bukan! Jangan sejauh itu. Anggap itu biasa dilakukan sepasang teman dekat. Tetapi aku dan Nick apa? Selama beberapa kali kami berinteraksi, yang ada hanya bertengkar! Tidak ada sesi dimana kami bisa bercakap hangat selayak teman akrab. Lalu kenapa aku harus ikhlas berbagi minuman dengannya, minum dengan sedotan yang sama—ah! Aku bahkan malas memikirkannya.
Merasa tak ada gunanya berbalas argument dengan boneka salju, aku akhirnya memilih mengabaikan Nick. Menyandarkan punggung kasar ke kursi. Darren tersenyum menatapku, mengatakan 'sabar' sambil menyodorkan popcorn yang dia bawa. Aku tersenyum tipis kemudian melanjutkan menikmati popcorn caramel.
45 menit kami tidak berinteraksi. Aku masih di fase 'sedang berusaha' menikmati moment, karena selain masih sebal dengan Nick, Sean yang beberapa kali berisik menganggu Bella juga mengintervensi kesabaranku. Aku bahkan beberapa kali menendang kursinya. Memaksanya agar lebih anteng.
Savina :
Kalau mau pacaran di luar sana. Berisik!
Aku memutuskan mengirimi Sean pesan Wa. Semata agar laki-laki blesteran itu tidak kena timpuk penonton satu bioskop.
Sean :
Iri bilang boozztt!
Aku kembali menendang kursinya. Sean menengok ke arahku sambil memasang wajah menyeramkan. Aku membekap mulut, berusaha menahan tawa.
"Minggir,"
Tawa tertahanku terhenti seketika saat dengan tiba-tiba Nick membungkuk ke arahku dan menjulurkan tangan kanannya untuk mengambil popcorn yang dibawa Darren. Aku sekonyong-koyong menyandarkan badanku ke belakang, sekaligus mendorong badannya menjauh. Karena kalau tidak, jarakku dengannya tidak akan lebih panjang dari diameter bola kasti.
"Loe punya popcorn sendiri, kenapa ambilin punya orang,"
"Punya gue habis,"
Aku melonggokkan kepala, mencoba memastikan apa Popcorn Nick benar-benar habis. Dan aku menemukan popcorn itu tidaklah habis, tapi sengaja dia berikan kepada Erro, finalis yang juga adik tingkatku di perkuliahan
"Makan punya loe sendiri!" aku menampik tangannya yang untuk kedua kali mengambil popcorn Darren. Nick menuruti perkataanku. Manusia kutup itu akhirnya anteng duduk di kursinya. Akupun kembali menikmati popcorn dan film yang merambat mencapai klimaks cerita.
Satu demi satu potongan adegan yang mulai menegangkan tertampil di layar. Aku mencengkeram ujung jaketku. Menyebalkan sekali karena aku tidak bisa memegang lengan satupun dari manusia di samping kanan-kiriku. Darren dan Nick? Dua-duanya bukan pilihan tepat!
Saat aku masih sibuk mengendalikan perasaan tegang yang mulai mengintimidasi, dan saat Nick diam-diam menjulurkan tangannya untuk mengambil Popcorn Darren lagi, tiba-tiba terputar adegan yang membuatku terkejut. Shit! Aku menutup mata! Menarik satu lengan tanpa berpikir bahwa karena tingkah gegabahku membuat wajah empunya bergerak begitu cepat ke arahku.
Shit!!
Aku harus mengumpat lagi dalam hati, karena tepat saat aku membuka mata, yang kulihat adalah tatapan Nick yang begitu dalam yang sialnya menciptakan satu percikan tidak nyaman di hatiku.
Glek!
Bodoh!
Aku mengutuk diriku yang dengan lugunya malah cegukan!
Aku juga mengutuk laki-laki ini, yang tidak bergerak sedikitpun, di saat jarak nafas kami bahkan begitu terasa satu sama lain.
Ya Tuhan! Bagaimana ini, aku kelihatannya hilang kendali motorik sensorik. Aku sungguh tidak bisa memerintahkan tanganku untuk mendorongnya. Padahal pikiranku sudah berteriak-teriak tak terkendali.
Sav, di sekitar loe ada temen-temen loe yang pasti bakal berpikiran macem-macem lihat loe dan Nick berpose seperti itu! Dorong Sav, dorong badannya!!
"Heh, kalian ngapain sih? Kita di sini juga dishoot loh. Ntar FYP baru tahu rasa lo!" ucapan ambigu Erro akhirnya menyadarkanku.
"Nick—" aku memanggilnya lirih.
"Hem,"
"Enyah! Atau gue tending loe!"
"Ha?"
Aku harus mengembuskan nafas kesal. "Minggir!" aku menekan suaraku selirih mungkin.
"Oh—ya!"
Nick menjauh, menyentuh hidung, memposisikan duduk dengan serba salah.
Aku memilih diam. Mencoba mengalihkan perhatian dengan mencomot Popcorn caramel milik Darren yang ternyata sudah lenyap separo. Darren menatapku dengan pandangan aneh. Aku menunjuk layar, memintanya untuk jangan mengurusiku dan fokus saja menonton film. Darren melakukan sesuai keinginanku.
Loe juga Sav! Loe juga focus saja nonton film. Jangan hiraukan Nick. Jangan biarkan siapapun menganggu tekatmu meraih mimpimu. Sekali lagi sekarang bukan saatnya main-main. Impian yang sudah loe usahakan selama ini, masih menunggu untuk loe wujudkan. Fokus Sav! Fokus!
Aku meremas kedua tangan yang mulai berkeringat. Berusaha keras menuruti perintah pikiranku, di saat hatiku mengatakan sebaliknya.
<<>>

KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...