Hari ini adalah dua hari sebelum SHOW TIME 2. Kelompokku dan kelompok Nana kembali dibawah pengajaran Mr. Papah yang tambah hari tambah horror saja. Aku mengelap keringat yang mengucur dari kening. Nana sendiri tengah minum sebotol air mineral. 8 finalis lainnya tak jauh beda keadaannya dari kami.
Papah berdiri di depan kaca goliath yang sudah seperti dinding. Laki-laki itu menatap kami bersepuluh seperti akan melahap kami hidup-hidup.
"Lari 3 putaran saja sudah megap-megap kaya gitu." Papah menggelengkan kepala mengejek. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih pagi. Firasatku kami akan memutari ruangan latihan ini 3 kali lagi.
"Ulang tiga putaran lagi cepat!"
Nah kan, bener!
10 finalis berdiri ogah-ogahan. Tapi karena sentakan suara papah sudah lebih dulu menggelegar ke seluruh sudut ruangan, kami bersepuluh mau tak mau harus segera berlari menunaikan tugas.
Selesai mengitari ruang latihan sebanyak 6 kali, papah memberikan kami kesempatan untuk beristirahat. 15 menit. Ya hanya 15 menit saja. Setelah itu kami akan latihan bergantian dengan diiringi homeband.
"Kalian bisa istirahat di sini, di luar juga nggak papa. 15 menit lagi kalian masuk satu per satu. Urutannya sesuai ini." Papah memberikan 2 lembar kertas berisi urutan kami harus masuk ke studio latihan.
"Papah tunggu di studio."
Kami bersepuluh mengangguk, kemudian bubar satu persatu. Aku dan Nana memilih untuk keluar, duduk di balkon. Urutan aku masuk ke studio paling terakhir, begitupun Nana, jadi tak ada salahnya untuk me-refresh pikiran di balkon sambil menikmati pemandangan dari lantai 3.
Saat berjalan ke balkon aku sempat melihat Sean sedang berjalan bersama Bella. Aku menyebik. Dasar laki-laki, pintar sekali Pedekate. Lihat saja, dia mudah sekali membuat Bella, si gadis lemah lembut, tertawa seriang itu.
Aku melirik Nana, was-was dia akan sewot, karena aku yakin dia sempat juga menatap Sean tadi. Tapi yang kulihat Nana biasa-biasa saja. Well, kukira Nana menuruti petuah-petuahku beberapa hari lalu.
Tepat akan keluar ke balkon, aku dan Nana nyaris bertabrakan dengan Nick. Laki-laki itu mungkin baru dari balkon dan akan masuk ke dalam ruang latihannya. Aku baru akan menyapanya saat seseorang lebih dulu menginterupsi kami.
"Jangan sampai dicopot ya gelangnya."
Cherry, si gadis manis manjah muncul dari belakang Nick. Dugaanku mereka berdua sama-sama dari balkon.
"Eh, hei!" Cherry terkejut sesaat, kemudian mencoba menyapa kami dengan sewajarnya. Aku dan Nana tersenyum, mengangguk sopan dan memilih untuk keluar menuju balkon. Baru beberapa langkah, aku tergerak untuk menengok ke belakang. Saat itulah aku mendapati Nick juga melakukan hal yang sama. Laki-laki itu memandang kearahku dan seperti biasa memberiku tatapan yang sulit untukku artikan.
3 detik berlalu dan aku memilih untuk mengabaikannya.
"Kenapa bocah itu bisa deket ama Cherry. Perasaan Cherry bukan tipe dia deh," Nana membuka mulut tepat saat kami duduk di kursi balkon.
Aku tak menanggapi ucapan Cherry, karena menurutku membicarakan Nick dan Cherry tidak ada gunanya untukku.
"Eh, gue belum cerita ya kalau Nick dan gue itu tetanggaan,"
Aku menggeleng. Entah, tiba-tiba malas bicara. Kukeluarkan earphone dari saku celana. Kutancapkan ke handphone, lalu kuputar playlist lagu keroncong. Lagi-lagi aku ingin mendengarkan lagu Bengawan Solo. Nana mengambil satu sisi earphone kemudian memasangnya ke telinganya sendiri.
"Lagu keroncong? Loe lagi badmood?"
Aku menggeleng. "Emang waktu badmood aja gue dengerin keroncong?"
"Ya, biasanya kan gitu,"
Aku lagi-lagi tak menimpali perkataan Nana. Kami diam beberapa detik, karena Nana adalah gadis yang tidak akan tahan jika tidak mengoceh.
"Btw-btw, gue masih penasaran ama Nick dan Cherry. Ada apa ya dengan mereka?"
"Kalau loe penasaran, gue tanyain gimana?"
"Yee. Nggak kaya gitu juga! Cuman gue nggak nyangka aja. Bukankah kita baru kenal beberapa minggu, kenapa cepet banget pendekatannya."
"----"
"Cherry asalnya dari mana sih?"
"Mana gue tahu." Jujur meski sudah beberapa waktu kami satu asrama tetapi aku belum sempat untuk berkenalan dan mengenal lebih jauh seorang Cherry. Aku hanya tahu gadis itu cantik, suaranya mempunyai ciri khas mendayu-dayu manja. Pembawaannya kukira juga menyenangkan. Tak ada yang tidak akan suka kepadanya. Kenapa Nana harus setidak-percaya itu jika memang benar Nick deket dengan Cherry?
"Tadi aku sempet lihat mereka pakai gelang couple," Nana kembali melanjutkan gibahannya. Aku menahan nafas. Mulai enggan mendengarkan.
"Apa mungkin mereka sudah pac—"
"Bisa kita diam dulu, atau kalau pengen ngobrol, kita obrolin hal lain yang lebih berfaedah untuk kehidupan kita kedepan. Setuju dengan saran saya nona?" Aku menghadap Nana dan mencoba memasang wajah serius. Nana langsung tutup mulut. Tertawa dan merangkulku.
"Oke-oke gue anteng,"
Kami akhirnya diam. Duduk di balkon ditemani semilir angin yang menghangat. Aku menghirup udara sedalam-dalamnya, lantas mengembuskannya. Aku merasa ada sesuatu yang mencoba mengkonfrontasi fokusku. Sesuatu yang aku tak tahu apa.
"Hey boleh aku bergabung?"
Akumenoleh, dan senyuman Darren berhasil memunculkan senyum di bibirku.
<<>>

KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
Fiksi UmumAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...