Enam Belas {KKN 1922}

96 13 17
                                    

"Ternyata, sekedar dianggap seorang adik, ya?"

_KKN 1922_

•••

Tak terasa, kini bulan telah berganti. Di mana masa yang menjadi musuh bagi anak kos sudah tiba, sebab mereka harus membayar kamar sewaan masing-masing. Jelas hal tersebut terbilang cukup berat. Terutama bagi orang yang belum mendapat kiriman dari orang tua di rumah.

"Vy, mau ikut ke rumah Pak Kos nggak? Siapa tau mau sekalian bayar kos juga." Iza berujar tepat di depan pintu kamar Ivy. Dia yakin sang empu sedang berada di dalam, terdeteksi dari lampu kamar yang menyala dan suara lirih musik terdengar di telinga.

Benar sahaja, tak lama kemudian, pintu coklat tersebut pun terbuka. Menampilkan sosok bercelana selutut dengan atasan kaus oblong berwarna putih polos.

"Kamu duluan aja, aku nanti nyusul," kata perempuan itu sembari jemari membenarkan letak kaca mata yang sedikit melorot dari atas hidung.

"Oke kalo gitu. Aku duluan berarti, ya!"

Sepeninggalan Iza, Ivy hanya bisa menghela napas. Alasan dia belum bisa turut serta membayar hari ini adalah karena belum mendapat kiriman. Uang di dompet tinggal tersisa sepuluh ribu, sementara di rekening tersisa lima puluh ribu.

Untuk makan hari ini saja, dia harus berpikir matang-matang agar sisa uang bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.

Ting!

[Mamah baru bisa transfer tiga hari lagi. Nggak papa, ya?"]

Lagi-lagi Ivy dibuat menghela napas. Notifikasi dari sang ibu tersebut membuatnya berpikir keras sehingga kepala berujung pening. Untuk masalah membayar kos, dia masih bisa meminta perpanjangan waktu, tetapi bagaimana mengenai masalah perut?

"Yang belum bayar kos, buruan bayar! Hari ini gue yang giliran nagih!"

Namun, ketika mendengar seruan itu, niat guna meminta perpanjangan waktu seketika lenyap. Pasalnya, Yuki sang perempuan garanglah yang datang menagih, padahal biasanya Pak Nurudin yang mengingatkan kepada masing-masing penghuni.

"Gue bakal sebutin satu-satu, ya yang belum bayar!" Tanpa pengeras suara pun, suara Yuki sudah bisa terdengar oleh semua telinga. "Dengerin baik-baik semua! Baik di lantai satu ataupun di lantai tiga!"

Dengan jantung berdebar, Ivy fokus mendengarkan. Sesuai perkiraan, namanya jua disebut bahkan secara lengkap sekaligus disertai nomor kamarnya.

"Lo kapan bayar? Batasnya hari ini!"

Ivy tersentak saat tiba-tiba Yuki berdiri di depannya sembari tangan membawa buku catatan bersampul batik dan bolpoin hitam.

"Aku izin molor, ya bayarnya. Tiga hari lagi in syaa Allah," ucapnya memberanikan diri.

Mendengar itu, alis kanan Yuki dibuat naik ke atas. Bibir ranum, tetapi sedikit pucat miliknya lantas mengukir senyum miring. "Nggak bisa, lo harus bayar sekarang. Kalo nggak, lo harus tinggalin kamar ini!"

Ancaman tersebut tentu membuat Ivy bertambah gusar. Jika benar begitu, dia harus tinggal di mana sekarang? Apalagi uang pegangan saat ini hanya cukup membeli makanan satu sampai dua kali. Itu pun jikalau sekadar membeli lauk.

KKN 1922 [Selesai!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang