Dua Puluh Sembilan {KKN 1922}

70 12 5
                                    

"Penyesalan memang selalu datang terlambat."

_KKN 1922_

•••

Tangis beberapa orang terlihat mendera. Tiga perempuan sekaligus tengah duduk di bangku tunggu rumah sakit sembari masing-masing dari mereka berdoa dalam hati. Semoga sahaja, sosok mungil yang tengah ditangani oleh sang dokter di dalam sana bisa diselamatkan.

Jika tidak, maka pria yang tak lain adalah ayahnya pasti akan kecewa kepada mereka.

"Gue udah ngasih tau Kak Kaisar soal ini," ucap Iza yang terlihat sedikit lebih tenang daripada yang lain.

"Biar apa lo ngasih tau dia, hah? Lo sengaja?!"

Dada Iza naik turun saat nada bicara Yuki meningkat. Terlebih kedua mata memerah perempuan itu menatapnya tajam.

"Dia ayahnya, jadi dia berhak tau! Kenapa? Lo takut karena Mia kaya gini gara-gara lo?" tanyanya balik, berusaha tidak terbawa emosi meski gejolak menyebalkan sudah berkumpul di kalbu.

Mendengar balasan Iza, Yuki sukar mengelak. Dia memang bersalah dalam hal ini. Hingga dirinya hanya bisa menunduk penuh sembari terduduk kaku guna berusaha mengatur napas.

"Dok, bagaimana keadaan Mia?" tanya Ivy, mengabaikan keributan yang tadi sempat terjadi.

Dokter yang menangani Mia ternyata keluar dari salah satu ruangan. Pria dengan jas putih dan stetoskop menggantung di leher tersebut berjalan mendekati tiga insan yang masih terlihat panik.

"Pihak keluarga Mia?" Sang dokter tanpa berbasa-basi langsung bertanya demikian.

Entah mengapa, perasaan Ivy terasa tak enak saat dokter bertanya seperti barusan. Seakan terjadi hal buruk yang menimpa Mia si anak malang.

"Mia!"

Belum sempat direspon, dari arah kiri lorong rumah sakit, Kaisar muncul seraya berlari membawa wajah penuh peluh. Dari deru napas, sangat kentara jika dia berusaha keras agar bisa sampai di tempat ini dengan cepat.

"Anak saya bagaimana, Dok? Mia baik-baik aja 'kan?" tanyanya to the poin.

Bahkan semua orang di sekitarnya bisa melihat jika dia menahan tangis, terdeteksi dari mata yang memerah.

"Mari ikut saya terlebih dahulu, Pak."

Setelah mengikuti sang dokter ke ruangan, ternyata keadaan Mia baik-baik saja. Anak menggemaskan itu tidak terluka parah. Meskipun demikian, dia tetap harus dirawat demi memulihkan tubuh mengingat umurnya masih terlalu dini apabila dibiarkan pulang begitu sahaja.

"Maaf, Bang. Aku nggak bisa jaga Mia ...." Ini pernyataan Ivy. Dari nada bicara sangat terbaca jelas jika dia menyesal.

"Ini bukan salah dia, kok. Kalo Mia nggak dipaksa, dia juga nggak bakal lari keluar kamar," timpal Iza tiba-tiba, melirik sosok Yuki yang masih setia duduk di kursi tunggu.

Amat terlihat jelas jika dia ketakutan.

Iza pun lantas berinisiatif menjelaskan dari mulai kedatangan Yuki ke kamar sampai pemaksaan yang dilakukan. Hingga karena takut, akhirnya Mia kabur keluar Kos Putih dan memaksa menyebrang area jalanan raya terdekat.

KKN 1922 [Selesai!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang