⚠️⚠️Warning!! Warning!!⚠️⚠️
Cerita ini banyak kekurangan, plot hole, typo bertebaran, belum lagi kesalahan grammar dan gaya penulisan yang berubah sesuai mood yang nulis__aku.
Take your chance and leave buat yang pengen cerita wow dan perfect, karena nggak mungkin didapetin disini.
Aku buat ini cuma buat seneng-seneng aja jadi mari kita sama-sama having fun.
••☆••♡♡♡••☆••
Mereka bertujuh sekarang sedang berdiri di depan ruang Dokter Rinaldi, psikolog keluarga Ray.Banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepala mereka tapi tahu kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya dan memulai perdebatan.
Jian menggigit kuku jempolnya, kebiasaannya saat sedang gelisah. Wajahnya pucat, matanya sembab dan bibirnya bergetar. Bungsu geng hits itu terlihat seperti bisa pingsan kapan saja.
Marhen membuka jaketnya lalu menyampirkannya ke bahu bidang Jian yang masih fokus melamun dan belum bisa diajak ngomong. Diantara mereka berdelapan, Jian dan Sean adalah yang paling bungsu (walau cuma beda bulan), mereka juga suka menghabiskan waktu bersama, pertemanan kedua ibu mereka memperkuat persaudaraan mereka.
Mereka mungkin agak menyesal karena kurang peka dan terlambat menyadari kondisi Sean padahal selama ini mereka kurang lebih menghabiskan waktu sepanjang waktu bersama entah di sekolah maupun basecamp. Manusia dan masalahnya memang serumit itu, banyak cerita yang tersimpan rapat dan menjadi rahasia tapi bisa tiba-tiba menjadi bom waktu yang kapan saja meledak.
Jazz dan yang lain tidak terlalu menyalahkan Sean yang menyimpan rahasia dari mereka. Semua orang butuh privasi, buktinya kemaren mereka kecolongan masalah Jere dan Kath. It's okay, kadang waktu yang akan membukanya pada mereka. Tapi kalau keadaanya separah Sean tadi yang sampai impulsif dan cenderung menyakiti diri sendiri, gimana bisa mereka baik-baik saja?
Mana si Jian, satu-satunya harapan mereka terlampau syok sampai tidak bisa diajak bicara. Akhirnya mereka cuma bisa bertanya dan menduga-duga dalam kepala mereka.
Chiko menoel Ray yang sedang bengong menatap tembok untuk mengikutinya ke luar. "We need to talk" katanya
Ray mengikuti saja ke mana Chiko membawanya, kepalanya terlalu pening untuk sekedar protes.
"Gue tadi cek histori panggilannya Sean" kata Chiko "panggilan terakhirnya itu dari nomor asing" Ray menunggu Chiko meneruskan ceritanya
"Jadi, gue suruh tim gue buat cek nomor sama lokasi terakhir pemilik nomor itu" pria keturunan China itu memberikan ponselnya yang layarnya menyala menunjukkan sebuah foto "ini yang ditemuin tim gue pas cek cctv lokasi terakhir pemilik nomor itu"
"Brengsek!!" Ray emosi melihat wajah familiar di layar hp Chiko. Tidak salah lagi, dia terlalu mengenal wajah itu. Wajah Sean versi lebih dewasa, Papah kandungnya. Si pria gila yang menyiksa Sean dan Mamanya sampai Mamanya terluka parah karena melindungi Sean dan harus koma 3 tahun ini.
"Dia udah bebas?"
"Kabur dari penjara" kata Chiko "gue juga baru tau"
"Buron?" Chiko mengangguk "tangkep, tapi jangan dulu laporin dia" Ray tersenyum miring "kita harus bikin perhitungan"
"Kadang terlalu patuh sama hukum nggak baik buat kesehatan mental" Ray melanjutkan "kalau tim lo kesusahan nangkep dia bilang aja, gue sama yang lain siap bantu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kwangya High [ ✓ ]
Fanfic[ completed + bonchap ] "And suddenly, we're a memories. A fvcking dumbly dumb one." ____J FF Aespa x NCT pertama akuuu, mohon dimaklumi buat semua kekurangannya karena aku bikinnya ogah-ogahan, semau aku, jadi banyak banget kurangnya. Cuma iseng s...