CHAPTER VIII

175 59 103
                                    

"Darah lebih kental daripada air."
Mario Teguh

"Mario Teguh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karma. Apa itu karma?

Dulu, Maria pernah mengatakan bahwa karma adalah balasan dari perbuatan buruk manusia ketika hidup di dunia. Sesuatu yang buruk akan mendapatkan hal yang buruk juga dari pencipta semesta. Lalu, dalam sebuah catatan sejarah yang sudah cukup usang, tertulis pengertian karma adalah yang bukan hanya menguasai manusia, tetapi juga merupakan suatu hukum mutlak di alam.

Sasya terkekeh dengan isi pikirannya sendiri. Gadis yang memakai gaun berwarna putih dengan korset coklat diluar tersebut tiba-tiba tertawa kecil.

Benarkah sebuah keburukan akan mendapatkan balasan buruk juga?

Lalu, bagaimana dengan dirinya yang menghabisi banyak nyawa selama ini?

Akankah dirinya akan mati sama seperti para korban-korbannya?

Mati dengan perut ditusuk belati penuh racun, leher yang dipenggal atau tubuh yang dimutilasi habis?

Lucu sekali, jika benar dirinya akan mati mengenaskan, maka ia tidak akan takut sama sekali. Kematian yang dulu pernah ia rasakan pada kehidupannya yang pertama, rasanya tidak sesakit itu. Tidak akan takut! Tidak akan, batin Sasya tersenyum licik.

"Kau baik-baik saja?"

Suara tawa milik Sasya tiba-tiba lenyap, menguar bersama pertanyaan yang membuat wajahnya kembali mendatar tanpa ekspresi.

"Bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Alis tebal nan hitam milik Eralita naik sebelah.

"Oke," ujar Eralita tak acuh, selaras dengan kedua bahunya yang terangkat naik. Pemilik netra emas bersinar itu kembali menyeruput secangkir teh yang di pegangnya dengan tenang.

Suasana kembali hening, Sasya hanya duduk diam di atas kursinya. Sementara Eralita, sibuk dengan matanya yang memandangi puluhan pria bertelanjang dada yang sedang beradu kekuatan. Embusan angin awal musim gugur cukup membuat kulit Eralita meremang di balik gaun peach lengan panjang yang di pakainya.

"Aku baru tahu, ternyata pemandangan di kastel ini sangat bagus," ujar Eralita meletakkan gelasnya di meja.

Sasya tidak menjawab, gadis itu hanya mendengus singkat saat melihat Eralita mempererat mantel bulu yang bertengger di bahunya. Bahkan musim dingin belum dimulai, tapi dia sudah kedinginan. Lemah, batin Sasya mengejek.

"Kau tidak ingin bertanya mengapa aku menemuimu disini?"

"Tidak tertarik," jawab Sasya tak acuh.

Eralita terkekeh kecil mendengar itu. Ia memperhatikan wajah putih bernoda memar milik gadis di sampingnya. Netra emasnya bergulir menilai dari atas hingga bawah. Sudut bibir Eralita naik sedikit, membentuk seringai tipis, sangat tipis bahkan hampir tidak terlihat, ketika penampilan dari adik Arthur sedikit berbeda.

Just the Way You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang