CHAPTER XVI

132 40 59
                                    

"Nasib dan takdir mungkin bisa diubah,
tetapi, ketentuan Tuhan dan tabiat
sama sekali tidak."
Hugo Hyoris

"Kau bercanda?!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau bercanda?!

Urat leher Sasya mencuat, membesar dan berlomba-lomba menunjuk eksistensi mereka. Napasnya memburu, giginya beradu dan kedua telapak tangan terkepal erat. Kedua matanya memerah dan berkaca-kaca.

"Tidak, aku serius dengan ucapanku," jawab Arthur memperbaiki cravat abu-abunya yang ditarik paksa Sasya sebelumnya.

"Si bodoh ini!"

PLAK!

Wajah Arthur tertoleh ke samping kanan dengan kuat akibat tamparan keras yang dilayangkan oleh Sasya. Pandangannya menajam pada gadis yang tengah memandangi tangan kanannya yang bergetar. Arthur mengelap paksa darah yang merembas dari sudut bibirnya.

"Aku tidak akan merubah keputusanku kali ini. Kau tidak perlu ikut campur, aku hanya memperingatkanmu untuk tetap diam," ujar Arthur datar.

Rahang milik Sasya semakin mengeras, tangan yang sebelumnya dipakai untuk menampar pipi Arthur langsung terkepal. Air mata mengalir dari sudut matanya tanpa ia minta.

"Kau jangan bodoh! Kau tidak bisa membunuhnya, dia itu kakakmu sendiri. Saudara satu darah denganmu bedebah!" berang Sasya dengan wajah yang sudah memerah padam.

Arthur terkekeh kecil, menatap sinis pada adik kembarnya yang masih saja sangat polos, walaupun sudah dapat dikatakan tindakannya jauh dari kata polos.

"Aku tidak perduli meski dia berdarah sama denganku. Toh pada akhirnya gadis itu juga akan mati karena kutukannya, aku hanya akan mempercepat kepergiannya saja, tidak lebih," ucap Arthur mengangkat bahunya tak acuh.

Wajah Sasya yang sudah memerah semakin terlihat keruh dan suram. Yang sama sedari tadi hanya air matanya yang tidak berhenti mengalir membasahi pipinya. Perasaan takut samar dapat ia rasakan menggelayuti hatinya, membuat emosinya naik turun dan tidak bisa ia kendalikan.

"Kalau begitu biarkan saja dia mati dengan sendirinya nanti. Kau tidak perlu repot-repot membantunya," balas Sasya dengan nada sarkastik. "Jika kau membunuhnya, sama saja kau melakukan pemberontakan, seharusnya kau tahu itu," sambungnya sembari mengelap bekas air mata di pipinya dengan kasar.

Arthur bergeming, ia memilih bungkam dengan air wajah yang keruh. Pria itu berjalan mendekati Sasya yang tengah menatapnya tajam. Kedua tangannya pria itu bertengger di bahu terbuka milik Sasya. Membuat tubuh mungil gadis itu sedikit tersentak.

Just the Way You Are Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang