Fifty Seven

36.7K 2.1K 126
                                    

Happy Reading🦋

🥀🥀

Di sebuah kamar bernuansa klasik, terlihat seorang pria tengah terduduk di lantai. Matanya memerah sambil menatap nanar ke arah laci yang sudah rusak. Darah segar pun menetes dari tangannya yang tadi digunakannya untuk memukuli benda keras berkayu tersebut.

"Akhhhhh!" teriak Xander dengan frustasi. Sekarang kehidupannya kembali ke setelan pabrik, di mana jiwanya kosong dan hampa. Lantas, pria itu memilih untuk menyembunyikan kepalanya di atas paha. Ia kembali menangis.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki seseorang masuk ke dalam kamar. Hal tersebut membuat Xander refleks mendongak dengan cepat. Ia mengira bahwa Cath dan putranya yang datang. Namun, dugaannya salah. Ternyata yang datang adalah ayahnya.

Xander mendesah kecewa sambil mengusap pelan air matanya. Arghio yang melihat hal itu hanya bisa menggeleng kecil. Lantas, pria paruh baya tersebut ikut mendudukkan dirinya ke lantai di samping sang putra. Suasana pun menjadi hening seketika, tapi tak lama.

"Bagaimana rasanya? Sakit?" tanya Arghio membuka percakapan. Namun, Xander tak menggubris dan hanya diam saja. Pria itu sibuk memandang ke arah sepatu mahal mengkilat yang ia pakai.

"Perasaan itulah yang dirasakan istrimu saat bersamamu dulu. Aku harap kau mengerti, son. Ibarat pepatah, apa pun yang kau tanam, itulah yang akan kau tuai. Kau menyakiti istrimu dulu, sekarang kau harus merasakannya juga. Apa itu sudah setimpal?" ujarnya kembali.

Mendengar perkataan tersebut, tatapan Xander pun beralih menatap lekat sang ayah. "Apa gilaku selama beberapa bulan itu tidak cukup untuk membalas semua perbuatanku di masa lalu? Aku harus mengorbankan apalagi, dad?! Apa aku harus mengorbankan nyawaku?! Jika iya, maka aku akan melakukannya sekarang!" akhirnya, pria itu membalas ucapan sang ayah dengan nada frustasi.

"Shut up, son! Percuma kau mengorbankan nyawa untuk istrimu. Jika kau mati, kau juga tidak akan bisa bersamanya, kan?" tanya Arghio yang mulai kesal dengan pemikiran putranya. Apa serangkaian kejadian yang telah terjadi itu tidak mampu untuk menyadarkannya juga?

"Dengarkan daddymu ini! Jangan pernah memaksa orang untuk terus berada di sisimu. Terkadang, seorang raja saja pasti memiliki keinginan yang tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan ekspektasinya. Lantas, bagaimana denganmu yang notabenenya hanya manusia biasa? Berasal dari keluarga nomor 1 tidak menjaminmu untuk mendapatkan segalanya, son. Kau juga harus belajar untuk mengerti orang lain juga. Jangan hanya dirimu saja yang harus dimengerti!" imbuhnya dan membuat Xander langsung bungkam seketika. Pria itu menjadi diam seribu bahasa. Apakah selama ini dirinya terlalu egois untuk mempertahankan Cath agar selalu berada di sisinya?

"Level tertinggi dalam mencintai seseorang adalah mengikhlaskannya. Cath dulu sudah memberimu kesempatan ribuan kali. Namun, apa tindakanmu berubah? No, malah tambah parah! Mulai sekarang, belajarlah untuk tidak menjadi orang yang egois. Kau juga sudah menjadi seorang ayah. Apa sifat burukmu itu akan kau ajarkan pada putramu nanti? Ck! Yang ada bukan lagi keluarga terhormat William, tapi malah berubah menjadi keluarga bajingan William. Leluhur kita sudah susah payah membangun dan membesarkan marga keluarga ini. Apakah kau mau merusak perjuangan mereka hanya dengan tingkahmu? Renungkan kembali semua ucapanku tadi dan semoga kau bisa memutuskan hal yang tepat untuk kebahagiaan orang yang kau cintai!" tegas Arghio sambil memberi Xander sebuah kertas. Pria paruh baya itu berdiri dan beranjak keluar kamar meninggalkan sang putra sendirian.

Setelah kepergian sang ayah, Xander meraih secarik kertas yang diberikan kepadanya tadi. Dengan tangan gemetar, pria itu membukanya dengan perlahan.

To: Xander

Broken Hurts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang