#5 Flashback Dibangunnya Pesantren Part.1

43 3 2
                                    


Sebuah dangau sederhana berada di tengah sawah. Dangau berwarna cokelat ke abu-abuan itu terbuat dari bambu-bambu yang disusun kuat, dan atap dangau yang dibuat dari tangkai-tangkai padi.

Joko dan Herman sedang berteduh di tengah teriknya matahari yang sedang membuncahkan emosi. Joko sedang mengapit rokok dengan dua jarinya dan menyentilnya beberapa kali. Sedangkan Herman, menikmati pemandangan sawah di siang hari sambil menyeruput kopi. Sesekali ia robek roti yang ada di sampingnya dan dicelupkan ke dalam kopi. Sungguh, kenikmatan desa yang tiada dua.

"Bro, enak kali ya kalau di desa kita ini ada pesantren," ucap Herman sambil memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.

"Iya ya. Anak-anak kita jadi ada tempat khusus untuk belajar Islam. Si Rahmat aja tuh suruh bikin pesantren."

"Duit dari mana dia. Bapak Ibunya saja sudah meninggal. Sekarang, kerjaan dia ngajar ngaji aja. Itu pun kalau dibayar sama orang tua. Kalau enggak, yowes, lillahi ta'ala jadinya. Untung istrinya ngajar juga di desa seberang. Jadi mereka ada pemasukan."

Siang itu, Joko dan Herman melihat Kyai Rahmat sedang berjalan di tengah sawah dan menuju dangau tempat mereka berteduh.

"Wah, panjang umur sekali orang itu, Ko."

"Wes, ada Kyai besar menghampiri kita, Bro," puji Joko.

"Hus, kalian kenapa ikut-ikut orang desa sih, panggil saya Kyai segala. Eh, Assalamualaikum. Sampe lupa saya."

"Wa'alaikumussalam Kyai. Hahaha," ledek Joko.

"Ya emang kau ini sudah cocok dipanggil Kyai, Mat. Ilmu kau itu kan luar biasa. Jadi, penduduk desa wajar toh panggil kau Kyai."

"Iya. Tapi beban aja dipanggil seperti itu."

"Enggak apa-apa, Mat. Yang penting, kau itu harus selalu jadi orang alim. Jadi orang yang bermanfaat. Jangan sampai nanti malah jadi orang munafik. Mencemarkan Islam toh jadinya."

"Betul itu."

"Loh, kau ini ngapain ke sini?"

"Enggak. Melihat kalian duduk di dangau siang-siang, kayaknya enak juga," ucap Kyai Rahmat sambil memposisikan tubuhnya duduk di dangau.

"Eh, Mat. Kau kenapa tidak buat pesantren saja di desa ini?"

"Pesantren?"

"Nah, itu yang tadi saya bicarakan bareng Herman, Mat."

"Iya. Daripada kau ngajarin ngaji anak-anak kayak gitu. Nanggung, Mat. Mending totalitas saja. Langsung bangun pesantren. Jadi pengajaran Islamnya lebih maksimal. Kalau di pesantren kan enak. Ada fasilitas yang bisa dipakai anak-anak untuk menunjang pengetahuan mereka tentang islam."

"Iya betul. Daripada apa yang kau lakukan tiap sore di masjid. Cuma ngaji aja lalu pulang. Bagus memang, tapi nanggung enggak sih, Mat? Mereka belajar Islamnya kurang. Harusnya dapat banyak, eh malah dapat sedikit."

Mendengar usulan dari Herman dan Joko, Rahmat jadi berpikir panjang.

"Dulu bukannya kau pernah bilang ke saya, Mat. Bahwasanya, kata Ali bin Abi Thalib ...." ujar Joko yang seketika lupa apa yang dulu pernah disampaikan Kyai Rahmat kepadanya.

"Ah, bodoh sekali. Kebanyakkan nonton porno makanya otak kau enggak ada isinya itu dimakan sama video porno semua."

"Enak aja kalo ngomong. Eh, inget saya. Kebaikan yang tidak terorganisir, akan kalah dengan keburukan yang terorganisir. Betul kan, Mat? Nah, jangan sampe kau punya niat baik, tapi karena nanggung, akhirnya hasilnya enggak maksimal, Mat."

JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang