Khadijah sedang duduk di meja makan. Ia melihat makanan yang berada di atas meja seperti tidak bisa dimakan. Telur yang kematangan, roti yang kegosongan, dan sayur yang rasanya sangat hambar.
Khadijah menatap abinya yang masih sibuk di dapur. Entah sedang masak apalagi, yang pasti, rasanya tidak akan beda jauh dengan apa yang ada di depan matanya.
Sejak Ustazah Hani ditangkap polisi, Ustaz Badrul benar-benar terpukul. Ia tak habis pikir dengan sifat terpendam istrinya yang bertolak belakang dari apa yang ia lihat selama ini. Hal yang membuatnya sangat perih adalah ketika Ustazah Hani mengatakan di hadapannya kalau ia tidak mencintai Ustaz Badrul sama sekali.
***
Seorang polisi sudah duduk dengan laptop yang ada di hadapannya. Ustazah Hani pun duduk berhadapan dengan polisi tersebut. Mereka hanya dipisahkan dengan meja berbentuk persegi panjang.
"Darimana Mba mendapatkan tanaman beracun itu?"
"Saya punya kenalan. Orang tua saya kaya kali."
"Jadi, Mba ingin melakukan pembunuhan tersebut karena Mba kesal bahwa ayah Mba telah memberikan uang kepada pemilik pesantren untuk membangun pesantren yang di mana, uang itu harusnya untuk Mba pergi travelling? Betul begitu?"
"Kalau sudah tahu, kenapa nanya lagi? Ini pengacara saya mana sih!"
"Oh, sebentar. Apa demo masyarakat di pesantren belasan tahu lalu, karena ulah Mba juga?"
"Betul sekali. Saya membayar ketua RT dan RW setempat untuk menghasut masyarakat mendemo pesantren itu. Cih, Si Joko dan Si Herman itu, manusia tolol yang baru dikasih uang sedikit aja udah nurut. Gimana dikasih banyak."
"Hem, dan motif lain Mba melakukan percobaan pembunuhan itu adalah, karena sosok laki-laki yang Mba cintai malah mencintai perempuan lain, begitu?"
Saat itulah, Ustaz Badrul masuk ke dalam ruang introgasi.
"Betul. Saya juga tidak cinta dengan suami saya saat ini. Dia hanya pelarian saja. Sampai sekarang, saya masih mencintai Ustaz Zakaria."
"Han, k-kamu ... becanda kan?" tanya Ustaz Badrul memastikan.
"Becanda apa sih?! Lagi diintrogasi begini dibilang becanda, ngacok!"
Ustaz Badrul melihat sosok yang berbeda. Ini bukan istrinya yang ia kenal selama ini. Tatapannya yang tajam, bahasanya yang kasar, ekspresinya yang penuh dengan amarah dan kedengkian, bertolak belakang dengan Ustazah Hani yang dulu ia kenal sebelum melamarnya.
Langkahnya mundur perlahan. Kepalanya digelengkan. Matanya memerah. Salah satu matanya meneteskan butiran sendu yang berkelok di wajahnya. Seperti tersambar petir di siang bolong. Ustaz Badrul benar-benar tidak bisa melupakan kejadian tersebut.
Ustaz Badrul duduk di kursinya. Ia menatap anaknya yang belum mau memakan masakannya.
"Masakan Abi tidak enak ya?"
"Maaf ya, Abi."
"Enggak apa-apa, nanti kita beli lauk saja di luar ya."
"Iya, Bi," jawab Khadijah tertunduk.
"Khadijah, Abi memutuskan untuk pindah dari sini. Kita pulang ke rumah orang tua Abi ya. Agar kamu ada yang jaga ketika Abi kerja."
Khadijah tersentak. Walau pesantren ini banyak sekali kisah dan tragedinya, baginya ini seperti rumahnya sendiri.
Namun, ia mencoba dewasa. Kondisi abinya yang belum sepenuhnya sembuh dari rasa sakit, Khadijah harus membuat suasana hatinya senang. Salah satu caranya dengan mengikuti kemauan abinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Ficção AdolescenteSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...