"Ada apa, kok berantem?"
"E-enggak, Ustaz. Ini, cu-cuma salah paham," jawab Ismail.
"Benar begitu Abidin?" tanya Ustaz Badrul memastikan.
Abidin mengangguk.
***
Yahya menarik tangan Abidin. Mereka mengobrol di samping masjid. Jadi teringat, itu adalah tempat Abidin melempar peci Yahya ke atas pohon.
"Kenapa sih?"
"Kamu jujur sama aku."
"Apa?"
"Apa yang kamu sembunyikan dengan Ismail?"
"Kepo aja sih sama urusan orang!"
"Ya kepolah. Kan aku sekarang saudara kamu."
"Saudara bukan berarti bisa dekat ya."
Abidin pun berlalu dan kembali ke kelas. Ternyata, ketika mereka dipersaudarakan dalam ikatan, belum bisa mengubah sifat Abidin sama sekali.
***
Hari yang dinantikan pun tiba. Kepala sekolah berdiri di depan mading pesantren dan menempelkan selembaran besar dan panjang. Ternyata isinya adalah urutan nilai rapot tengah semester santri dari peringkat pertama sampai terakhir.
Seluruh santri pun berkerumun melihat siapa yang menduduki peringkat pertama satu pesantren.
"Pasti Yahya lagi deh."
"Siapa tahu Abidin."
"Haha, mana mungkin Abidin peringkat satu."
Beberapa santri membicarakan Yahya dan Abidin. Beberapa ada yang sambil jinjit karena terlalu pendek untuk bisa melihat papan mading.
Abidin pun melihat papan mading tersebut. Ia berharap bisa mengalahkan Yahya. Sehingga, peci miliknya bisa dikembalikan.
1. Muhammad Yahya Ayub Sulaiman
2. Khadijah
3. ....
4. ....
70. Muhammad Abidin Saleh
Ternyata, tak seperti apa yang diharapkannya. Memang, untuk mengalahkan kecerdasan Yahya, perlu belajar jangka panjang, tidak bisa jangka pendek. Begitulah pikiran Abidin.
Yahya tidak ikut berkerumun. Ia lebih senang di perpustakaan dan membaca berbagai pengetahuan yang belum ia ketahui. Sampai beberapa ustazah masuk ke dalam perpustakaan dan saling berbincang. Yahya tak sengaja mendengar obrolan mereka.
"Eh, Ustazah, nilai Abidin di pelajaran Ustazah naik tidak?"
"Iya, naik drastis. Alhamdulillah."
"Kok bisa ya? Semoga bisa istikamah ya."
"Kayaknya karena disuruh Ustaz Zakaria belajar sama Yahya terus. Makanya nilainya naik."
"Iya keren. Tadi aku melihat papan mading. Ternyata peringkat Abidin naik drastis, dari urutan 100, sekarang jadi urutan ke-70."
"Keren ya dia ternyata kalau serius belajar."
Mendengar hal itu, Yahya langsung beranjak dari tempat duduknya dan mencari Abidin.
Lagi dan lagi, mereka berdua bertemu di samping masjid. Kali ini, mereka berdiri tepat di bawah pohon. Itu adalah pohon tempat Abidin melempar peci Yahya.
"Ada apa lagi sih? Dari tadi tarik-tarik terus?"
"Ini ...." ujar Yahya sambil menyerahkan peci milik Abidin.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Teen FictionSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...