#3 Diamuk Masa

74 11 2
                                    

Beberapa pengurus pesantren sedang berkumpul di lapangan. Ustazah Hani memberikan kabar kalau nama pesantren trending tanpa henti. Bahkan gara-gara berita ini, masalah jadi menyebar ke mana-mana. Beberapa ustaz dan ustazah sempat difitnah oleh media kalau mereka belum punya akidah yang lurus.

Melihat kabar tersebut yang semakin runyam, Kyai tidak berkomentar. Namun, raut wajahnya sudah terpasang aura kebencian. Aisyah melihatnya. Ia melihat Kyai Rahmat langsung berbalik arah dan berjalan cepat masuk ke rumah dengan penuh amarah.

Sepertinya sudah naik pitam. Sangat tergambar jelas dari raut wajahnya. Awalnya Aisyah tidak berpikir macam-macam, sampai ia pun membelalakkan matanya karena tersadar.

Jangan-jangan Abi mau ke kamar Aidah.

Aisyah pun berlari menyusul Kyai Rahmat. Sayang, Kyai sudah sampai di depan kamar Aidah lebih dulu. Aidah yang baru saja menyelesaikan salat dhuhanya, lantas berdiri melihat abinya yang masuk ke dalam kamarnya. Ia angkat tangan kanannya dan dilayangkan ke arah pipi Aidah. Pertengkaran pun terjadi kembali.

Aisyah yang sudah melihat Kyai Rahmat mengangkat tangannya, langsung berteriak kencang. Aidah yang sudah ketakutan pun, merasa bersyukur Kakaknya datang di waktu yang tepat. Mendengar teriakan anaknya dari dalam rumah, Umi pun langsung berlari melihat kondisi anaknya.

***

Kondisi pesantren kian kritis. Para santri yang masih setia di pesantren pun tidak fokus dalam beraktivitas. Terlebih di luar pesantren sudah banyak sekali wartawan yang ingin meliput berita tentang kehamilan seorang anak Kyai yang tidak punya suami.

"Kau lihat anakmu itu?! Dia yang berzina, malah pesantren yang dirugikan! Semua santri kabur semuanya! Bahkan guru-guru kita di sini difitnah oleh media yang tidak-tidak!" teriak Kyai sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Aidah yang sedang duduk menunduk di kamarnya.

Aidah kembali dihakimi. Aidah tak kuasa menahan tangis. Memang masalah ini sekilas karenanya. Tapi ia sendiri tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Ia hanya bisa menangis dan terus melafazkan istigfar dari mulutnya.

"Istigfar terus kau ucapkan. Mulut dan perilaku berbeda 180 derajat!" bentak Kyai.

"Abi! Bisa tidak, berhenti membentak Aidah?" ucap Aisyah yang bernada tinggi ke Kyai Rahmat.

Karena emosi yang sudah tidak bisa dikontrol, tangan Kyai pun melayang tepat di pipi kiri Aisyah. Dengan cepat, Aidah menolong kakaknya yang jatuh tersungkur. Emosi sesaat yang sudah dilepas itu, akhirnya membuat Kyai sadar dan khilaf.

"Ma-maaf ...." ucap Kyai terbata-bata.

"Abi pikir, dengan emosi masalah bisa selesai?" keluh Aisyah yang masih memegang pipinya.

Hanya diam. Kekhilafannya membuat Kyai tak bisa berkata-kata lagi. Ia pun langsung berlalu tanpa kata dan masuk ke kamar.

"Satu lagi, Aidah itu perempuan dewasa. Tidak pantas seorang laki-laki masuk paksa ke kamarnya, sekalipun itu abinya sendiri," tegas Aisyah sambil memegang pipinya.

Karena rasa kecewa yang mendalam pada Abinya, Aisyah pun berlalu dan masuk ke kamarnya.

***

Sunyi. Dini hari tanpa bintang. Udara dingin benar-benar menusuk kulit mereka yang keluar rumah. Sekitar jam satu pagi, Aidah menarik kopernya keluar rumah.

Tak ada yang melihat memang. Karena seluruh santri dan ustaz/ah pesantren sudah tertidur lelap. Kecuali Umi, yang sedari awal sudah tidak bisa tidur dan memikirkan masalah yang belum ada jalan keluarnya.

Umi hanya rebahan di kasur. Beberapa kali memejamkan mata, tapi tidak bisa terlelap. Hingga akhirnya, Umi mendengar suara roda koper bergulir di luar kamarnya. Sesekali memastikan suara, Umi malah mendengar suara pintu terbuka. Karena curiga, saat itulah Umi keluar kamar. Umi pikir ada maling, ternyata Aidah yang sudah membawa koper dan berjalan keluar rumah.

JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang