Sudah dua tahun. Pesantren rasanya sepi sekali. Biasanya selalu ada keributan antara Abidin dan Yahya. Kini, Yahya yang penyendiri itu hilang tanpa jejak. Sekarang, malah Abidin yang menjadi seorang penyendiri.
Hebatnya, walau pesantren kehilangan santri terpintar seperti Yahya, dengan sangat mengejutkan Abidin bisa menggantikan posisi Yahya. Abidin sudah bukan sosok yang bandel dan malas seperti dulu. Semenjak mendapatkan kasih sayang orang tua sambungnya, ia jadi semangat menggapai mimpinya.
Peringkatnya yang awalnya urutan ke-100, naik menjadi peringkat ke-70 berkat Yahya, namun sekarang, ia berada di peringkat teratas. Sebuah peningkatan luar biasa yang jarang diraih oleh sebagian besar pelajar.
Abidin berdiri di depan mading pesantren. Sekarang, ia sudah kelas satu SMA. Ia memerhatikan semua nilai teman-temannya. Namanya berada di posisi teratas. Ismail masih berada pada peringkat terbawah. Sedangkan Khadijah, peringkatnya turun drastis semenjak tahu permasalahan abi dan uminya. Biasanya ia selalu peringkat ke-2, tapi sekarang jadi peringkat ke-30 seangkatan.
***
Setiap jam istirahat, Abidin selalu menyempatkan diri ke samping masjid. Itu adalah tempat ia dan Yahya mulai dekat. Ia mendongakkan kepalanya ke atas. Masih teringat sebuah peci putih yang ia lempar dan tersangkut di atas pohon sana. Ia pun memanjat pohon tersebut dan duduk di sana selama jam istirahat berlangsung.
Terkadang, beberapa guru dan santri melihatnya aneh. Karena suka duduk di atas pohon. Namun, bagi yang tahu kisah perjalanan Abidin dan Yahya, pohon itu menjadi sejarah dan kenangan indah mereka berdua. Mereka pasti akan iba dan kasihan melihat Abidin yang setiap hari selalu duduk di pohon tersebut dan merasa kesepian.
Pribadi Yahya yang lembut, penyayang, dan tidak pendendam, sekarang masuk ke dalam tubuh Abidin. Ia seperti menjelma seperti Yahya yang selalu diidolakan oleh guru-gurunya karena nilai yang selalu memuaskan.
Namun, di balik itu semua, ada kesedihan dan sakit yang teramat dalam ia rasakan. Dalam kesendirian, ia selalu berdoa agar Allah mengembalikan saudaranya. Walau itu sesuatu yang mungkin mustahil bagi logika. Bagaimana bisa orang terjun dari atas tebing lalu hanyut dalam aliran sungai yang deras, bisa selamat dan hidup sampai sekarang.
Namun, Abidin yakin, Allah SWT selalu memberikan kelapangan dalam kesempitan. Ia selalu berdoa dalam salatnya, selalu menangis, dan meminta kepada Allah SWT agar Dia mengembalikan saudaranya dalam keadaan hidup.
Beberapa ustaz yang mendengarkan Abidin berdoa, kadang menasihati Abidin untuk tidak berdoa terhadap sesuatu yang mustahil dan di luar logika. Namun Abidin bodo amat dengan itu.
Abidin lebih percaya dengan "kun fayakun" ketimbang logika. Bahkan dalam sepertiga malamnya, Abidin tak pernah lepas mendoakan saudaranya.
Dalam kesunyian malam, terkadang Abidin tak sengaja mendengar uminya menangis di kamarnya. Ia masih belum ikhlas melepas kepergian anaknya. Ia ingin sekali memeluk uminya.
Sayang, ia hanya anak sambung. Tak ada ikatan darah yang bisa membuat mereka saling bersentuhan. Abidin hanya bisa mendoakan agar umi dan abinya sehat selalu dan kuat menghadapi ujian yang sedang menimpanya sekarang.
Bahkan, satu hal yang selalu Abidin lakukan, namun tak pernah diketahui oleh orang lain adalah ia selalu pergi ke pinggir sungai untuk mencari Yahya. Setiap bada isya, ia selalu pergi ke sungai dan kembali lagi jam sepuluh malam. Setiap ditanya abinya habis dari mana, ia selalu berbohong.
Ia berjalan seorang diri di pinggiran sungai. Hanya hewan-hewan malam yang menemaninya. Terkadang, kunang-kunang pun menemaninya mencari keberadaan Yahya. Sekali lagi, sesuatu yang mustahil Yahya masih hidup karena sudah dua tahun berlalu.
Namun, Abidin tak pernah lepas dari rahmat Allah SWT. Jika memang Allah SWT tidak bisa mengembalikan saudaranya, setidaknya berikanlah kekuatan dan ketabahan kepada keluarganya agar bisa melepas kepergiannya.
Walau begitu, di balik kesedihan yang menimpa pesantren, tetap ada kebahagiaan di sana. Tahun lalu, Aisyah berhasil melahirkan anak pertamanya. Seorang anak laki-laki dengan nama Muhammad Isa Al Bukhari. Setiap Aidah menggendong anak kakaknya, ia jadi semakin teringat dengan Yahya waktu kecil.
"Mirip sekali dengan Yahya ketika kecil ya, Mba," ucap Aidah yang sedang menggendong Isa.
Aisyah tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sambil membersihkan mulut anaknya yang sedikit belepotan.
Hingga pada suatu malam, Aidah bermimpi. Ia mengenakan pakaian ihram serba putih. Ia berada pada tempat yang serba putih. Tak terlihat mana dinding, mana alas, dan mana atapnya. Ia terus berlari di tempat tersebut, tapi tidak menemukan satu orang pun. Sampai akhirnya, dari kejauhan ada sosok yang sedang berdiri membelakangi Aidah.
Ia bertanya tempat apakah yang sedang dipijaknya sekarang. Namun, lelaki itu tidak menjawab. Sampai akhirnya, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan menatap dengan lekat. Aidah terperanjat melihat sosok tersebut.
Dia adalah suami Aidah yang sudah meninggal. Mereka berdua pun duduk di sebuah kursi berbentuk kayu yang tiba-tiba muncul di sisi kanan Aidah.
"Ai, aku tidak bisa lama."
"Kenapa, Mas? Padahal kita baru saja bertemu."
"Aku mau minta tolong sama kamu."
"Apa?"
"Tolong jaga Yahya."
"Tapi dia ...."
"Dia anak aku, Ai."
"Tapi, Mas. Kamu kan ...."
"Aku tahu. Tapi dia adalah anakku, Ai."
"Tapi Yahya sudah ...."
"Percayalah dengan iman. Tak semua yang ada di dunia ini bisa kamu gunakan dengan logika."
Saat itulah, Aidah mulai membuka mata dan memposisikan tubuhnya duduk dengan cepat.
"Kenapa, Ai?" tanya Ustaz Zakaria yang ikut terbangun.
Matanya sudah berair. Entah kenapa, setelah bangun pipinya sudah dibasahi dengan air matanya.
"Kamu, nangis? Mimpi ya?"
"Mas, Yahya masih hidup, Mas ...."
"Ai ...."
"Aku yakin Yahya masih hidup, Mas."
"Kita harus belajar mengikhlaskan, Ai. Ini sudah dua tahun. Kita harus fokus pada pendidikan Abidin."
Dalam keheningan malam, Aidah pun hanya menutupi wajahnya dan menangis. Ustaz Zakaria mencoba menenangkan istrinya. Semenjak itu, mereka pun tak tidur lagi sampai azan subuh berkumandang.
***
Hari yang dinantikan pun tiba. Ustaz Zakaria ingin membuat syukuran atas nilai Abidin yang berhasil ada di posisi teratas. Sekaligus, itu sebagai syukuran anak Aisyah yang pada hari itu, usianya tepat satu tahun.
Mereka semua berkumpul di ruang tamu yang kursi dan mejanya sudah disingkirkan. Semuanya duduk mengelilingi ruangan berbentuk persegi itu.
Semuanya sedang merasakan suka cita. Sejak mimpi itu, Aidah mencoba tegar dan mengikhlaskan kepergian Yahya. Ia mulai pulih dari sakitnya. Karena memang, obat dari sakit hati hanyalah keikhlasan. Hingga di tengah tawa dan canda mereka, datang seorang tamu yang sudah mengetuk pintu.
Kebetulan pintu sudah terbuka. Jadi, semuanya bisa lihat siapa yang datang.
Ternyata, yang datang adalah Yahya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Genç KurguSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...