22 - Opera

19 4 27
                                    

"Bagaimana soal gadis itu? Apa kau jadi menyatakan perasaanmu?"

Sebuah pesan singkat masuk, memunculkan notifikasi yang berdering ke ponsel Luciel. Itu pasti Abraham, ia lupa menyimpan nomornya. Seharian Luciel sibuk membuat pesanan kue ulang tahun pelanggan kemarin. Orang itu minta dibuatkan kue opera untuk ulang tahun istrinya.

Kue opera terdiri dari lapisan kue bolu almond yang diolesi sirup kopi, dilapisi dengan ganache dan krim mentega kopi, pada lapisan terakhir kue dilapisi cokelat biasanya dark chocolate. Namanya berasal dari lapisan yang menyerupai tingkat gedung opera. Seseorang yang memesan kue opera biasanya bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang kalangan atas yang memahami seni.

"Belum, aku belum bicara apapun dengannya." Luciel membalasnya setelah ia memasukkan kue opera yang sudah jadi ke dalam lemari pendingin.

"Coba ceritakan padaku tentang gadis itu, aku akan membantumu menyatakan perasaan."

Selain antusias, Luciel merasa tidak enak karena harus merepotkan urusan Abraham yang mungkin sudah terlalu banyak. Karena pria itu nampak bisa diandalkan, Luciel segera menceritakannya tentang pemilik avatar Marcy yang bernama Floria. Mulai dari bagaimana mereka bertemu sampai akhirnya Luciel memiliki perasaan pada Floria.

"Kau harus pergi besok sore ke rumahnya."

"Bagaimana kalau sekalian saja kutanyakan tentang pekerjaan kakaknya?"

"Tidak, tidak perlu. Kau harus fokus dulu dengan yang satu ini."

Kenapa Abraham jadi fokus membantuku? Dia bilang ada yang lebih penting? Walaupun merasa sedikit aneh, Luciel mantap dengan rencana yang telah mereka diskusikan. Ia akan menemui Floria di rumahnya besok sore, dan akan menyatakan perasaannya sambil membawa bunga.

***

"Kenapa kau mendadak mau ke rumahku?" tanya Floria dalam pesan singkatnya.

"Kau suka bunga apa?"

Floria merasa sedikit aneh dengan pesan singkat yang dikirim Luciel, tapi ia belum berani menyimpulkan apa-apa. Gadis itu takut kecewa dengan ekspektasinya.

"Semua bunga yang warnanya putih." Ia mengetik sambil tersenyum malu, rona di pipinya kian memerah.

Luciel memikirkan rangkaian bunga lily, tulip, mawar, hydrangea, carnation, dahlia dan bunga-bunga yang terlihat elegan. Pria itu menyampaikan usulannya dan menawarkan ke Floria.

"Apa tidak kelihatan seperti bunga untuk pemakaman?" Luciel ragu dengan warna bunga pilihan Floria.

"Itulah kenapa aku menyukainya, bunga itu terkesan ghotic. Ghotic tidak harus hitam, kan?"

Luciel terkekeh melihat jawaban yang dikirimkan Floria. Ada-ada saja gadis ini, batinnya.

***

Seperti rencananya kemarin, sebuah buket bunga putih sudah ia siapkan, dengan memakai tuksedo hitam yang mirip calon mempelai pria, Luciel tertawa geli melihat pantulannya di cermin.

"Apa tidak terlalu berlebihan?" gumamnya sambil menata rambut dengan gel. Ia kemudian melepas tuksedo itu, menyisakan kemeja putih dan celana hitam yang dipakainya.

"Nah, ini lebih baik." Sekali lagi pria itu menatap dirinya di cermin dan tersenyum puas.

Diperjalanan menuju rumah Floria, degup jantung yang mengguncang tubuhnya terasa semakin meresahkan. Tangannya sudah mulai dingin dan gemetar.

Forget Time [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang