Aku pikir aku benar-benar sudah gila.
Wajahku masih menyisakan panas yang tak kunjung mereda, sedang jantungku terus berdegup tak karuan di balik kemejaku. Setelah aku memutus ciuman itu, langkahku bergegas pergi berlari masuk ke kamarnya lalu membuka pintu kamar mandi, dan mengurung diriku di dalamnya.
Aku telah menyalakan shower air hangat sejak tadi hingga seluruh ruang yang dingin kini perlahan disusupi kehangatan. Kaca yang berembun samar mengaburkan pantulan bayanganku di permukaannya.
Baru sekarang, setelah semua saraf impulsif itu berakhir, aku akhirnya dapat berpikir lebih jernih.
Sejak kapan Yoo Joonghyuk menyimpan perasaan itu?
Mengapa dia menyukai orang sepertiku?
Aku mengusap cermin, menjernihkan refleksiku di baliknya.
Hanya saat ini aku baru bisa merealisasi bahwa aku tidak punya apa-apa untuk menarik perhatiannya.
Aku mencoba menyandarkan punggungku ke dinding, tetapi segera menariknya kembali sesaat rasa nyeri menjalari tubuhku. Memar yang kudapatkan nyatanya lebih parah dari yang kubayangkan. Aku tidak terlalu mengingat jelas berapa banyak bedebah itu memukul punggungku.
Kuputuskan untuk pertama-tama menanggalkan seragam basah yang kukenakan. Rasanya berat dan sangat tidak nyaman.
Aku melepaskan sepatuku, meletakkannya ke sudut lalu mulai melepaskan pakaianku dari dasi, blazer sekolah lalu kemeja. Saat aku menanggalkan kemejaku, bayangan memar gelap di punggungku yang putih dapat terlihat jelas.
Aku punya salep yang diresepkan oleh dokter, tetapi cukup sulit untuk membubuhkannya sendiri tanpa merasa sakit sebab berusaha meraih memar itu ketika bahuku sendiri meninggalkan nyeri yang teramat.
Beberapa lama setelah aku membilas seluruh tubuhku, suara ketukan datang dari pintu. Aku bergerak meraih jubah handuk hitam di kamar mandi itu tanpa banyak berpikir.
Aku segera beranjak keluar. "Ah, apa aku terlalu lama?" Aku hampir lupa bahwa bukan cuma aku yang kehujanan.
Namun, pikiran itu sia-sia saja. Yoo Joonghyuk telah selesai berganti baju dengan kaus lengan panjang hitam yang longgar.
"Ada kamar mandi lain di kamar tamu," jawabnya seolah bisa membaca pikiranku.
Yoo Joonghyuk lalu menatap ke bawah sesaat lantas memalingkan wajahnya dan berkata tanpa emosi, "Apa yang ingin kau kenakan?" Dia berbalik lalu membuka pintu menuju ruang pakaiannya.
Aku berpikir bahwa itu memang sedikit lancang mengenakan handuknya sembarangan. Bagaimanapun, pemuda ini tampaknya sedikit terobsesi tentang kebersihan. Mungkin aku akan mengirim handuknya ke binatu setelah ini, sebelum mengembalikannya.
Aku tidak bisa heran lagi melihat isi pakaiannya yang gelap. "Lemarimu seperti berkabung," ringisku tak tahan.
Aku menarik salah satu kemeja hitam secara acak. "Aku rasa aku masih harus pulang, tidak mungkin aku meminjam dalamanmu, 'kan?"
"Kau sangat terus terang," balas Yoo Joonghyuk menatapku tak percaya.
Aku mengedikkan bahuku. Hal semacam ini selalu lumrah di kehidupanku di New York. "Kau tahu, pacar kakakku yang selesai tidur dengannya biasa datang meminjam kausku jika bajunya dirobek. Dia selalu mengeluh kenapa aku tidak menjadi wanita saja agar dia juga bisa meminjam baju dalam dengan mudah." Kadang kala aku menyarankannya dengan tulus biar dia meminta Dionysus mencuri baju dalam ibuku saja.
Aku menemukan wajah Yoo Joonghyuk sedikit berubah, membuat seringaiku melebar.
Alih-alih, aku melanjutkan, "Sepertinya aku cukup beruntung. Setidaknya aku tidak akan punya masalah yang sama dengannya saat mencari pakaian pria di masa depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfiction[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...