Ada banyak saat ketika tubuhku selalu bergerak impulsif sebelum kepalaku selesai menata seluruh rangkaian pikir dalam benakku.
Sewaktu pandanganku menoleh ke samping, tatapan anak pendek itu tampak tertegun dengan kedatanganku. Dia memandangku dengan kilatan banyak emosi yang tak terjabarkan.
Selanjutnya kalimat itu mengalir begitu saja di antara celah bibirku. "Apa kau baik-baik saja?"
Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur, tapi aku merasa tak bisa diam saja. Sisi diriku yang lain seperti berteriak untuk bangun, menyerukan keras bahwa aku bukan Kim Dokja yang sama di masa lalu.
Kim Namwoon juga akhirnya kembali tersadar akan situasi yang menghadangnya. Dia berdiri dengan cepat, terlihat tak terganggu sama sekali dengan interupsiku.
Justru di luar ekspetasiku, aku menemukan dia menatapku dengan binaran main-main. "Apa kau teman si Bocah Serangga?" Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang akan mengamuk setelah sadar baru saja dipukul oleh pendatang menyebalkan sepertiku.
Aku menatap pemuda itu seperti ada yang salah dengan kepalanya. Dia baru saja marah dan sekarang ... terlihat senang? "Apa kau pengidap bipolar?" Bibirku berucap menyuarakan isi hatiku tanpa menyaring apa pun.
"Huh?" Kim Namwoon berkedip sekali kemudian akhirnya memahami maksudku, lantas tawanya memecah. "Hei, kau orang yang menarik."
Aku tidak tahu apa yang dimaksud anak ini, bagaimana bisa dia masih memuji di situasi seperti ini. Satu hal yang pasti tentangnya, pasti ada yang salah dari sirkuit otak anak ini.
"Kau sinting." Aku memberengut.
Dia menyeringai lebar. Matanya memicing penuh rasa senang. "Ah, aku semakin menyukaimu."
Bulu kudukku meremang di bawah pernyataannya. "Tapi aku tidak menyukaimu bedebah."
Kim Namwoon terkekeh mengusap darah di sudut bibirnya, luka itu seolah bukan apa-apa baginya. Di detik selanjutnya, dia melayangkan pukulannya ke arahku. Aku sudah bersiap sejak tadi untuk pembalasannya, membuatku dapat dengan mudah membaca arah serangannya dan segera menghindar.
Dia seperti sudah mengantisipasi gerakanku ketika tubuhnya memutar lebih cepat lalu beralih melayangkan sikunya ke kepalaku.
Sial. Anak gila ini tidak bodoh.
Aku menangkis serangannya dengan lenganku kemudian melayangkan tendangan ke pinggangnya.
Dia berkelit dan berhasil menghindar tepat waktu, tapi aku tidak berhenti di situ. Aku sudah menghadapi banyak anak modelan sepertinya, jika tidak diberi pukulan yang bagus, anak ini akan terus berjuang memukulku jatuh. Lebih baik menyelesaikan ini secepat mungkin.
Kuayunkan tinjuku ke depan. Setiap gerakanku mengalir dengan naluri yang tak dapat kubendung. Aku tidak memberinya jeda untuk bertahan atau pun waktu baginya terbiasa akan pukulan agresifku, dan satu per satu pukulanku terus menghujani tubuhnya dengan gerakan cepat yang terlatih handal.
Saat dia kembali tersungkur ke tanah sekali lagi, aku akhirnya berhenti.
Aku berbalik, menghela napas pelan, kuputuskan tidak lagi peduli padanya. "Hei, apa kau bisa bangun?" Kuulurkan tanganku pada anak lain yang menjadi target penindasan Kim Namwoon.
Setelah memandangnya lekat seperti ini, aku menemukan bahwa wajah anak laki-laki berambut coklat ini terlihat sangat muda untuk ukuran anak SMA. Dia meraih tanganku dan bangkit berdiri tanpa kata. Bibirnya bergetar samar menahan rasa sakit yang menusuk perutnya. Ketika dia berhadapan denganku, baru bisa kusadari seberapa pendek dirinya.
Anak laki-laki ini hanya setinggi dadaku.
Apa dia benar-benar anak SMA? Mengapa terlihat seperti anak kelas satu SMP?
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfic[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...