Sejak kapan kekangan ini membelengguku?
Sejauh masa yang mampu kujamah dalam lembaran memori terburuk, mungkin ini bermula jauh di masa kecilku—ketika pria sialan itu terus-menerus menggandeng wanita yang berbeda di tiap kesempatan, tanpa peduli bahwa dia masih punya seorang putra dan istri yang menanti di rumahnya.
Sebelum Mom dan Dad mengangkatku menjadi putra mereka, aku pernah punya keluarga yang tidak menginginkanku.
Ayah kandungku masa itu adalah seorang pria mapan dengan pekerjaan sebagai manajer di salah satu perusahaan ternama, sedang Ibu yang melahirkanku merupakan seorang penulis buku bergambar untuk anak-anak.
Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa memutuskan menikah. Melalui satu-satunya pigura foto yang menampilkan keduanya dalam balutan pakaian pernikahan, aku bisa menyaksikan rekam jejak nyata tentang bagaimana dahulu sungguh ada waktu keduanya pernah berbagi rasa sayang yang serupa.
Setidaknya, lekuk senyum tipis di paras Ibu dan pancaran tatapan mata Ayah pada wanita di sisinya jelas tak menampilkan kepura-puraan. Kebahagiaan itu nyata terbenam di sana, menguasai keduanya dan membuat keberadaanku lahir ke semesta ini.
Dokja.
Nama yang disematkan padaku oleh mereka.
Dengan Dok dalam huruf hanja dapat ditulis dengan arti tunggal dan Dok yang juga berarti seorang pembaca.
Ada kalanya aku sangat menyukai nama itu.
Kim Dokja.
Nama yang hingga kapan pun menjadi satu-satunya hal dari masa lampau yang tak pernah mampu kutinggalkan, menjadi jejak abadi yang kubawa dan kuingat agar aku tak pernah lupa bahwa semesta ini memang tak pernah berbaik hati padaku.
Luka yang ditorehkannya berhasil menepis angan lamaku di waktu awal ketika segalanya berjalan tanpa ada kesalahan, saat aku mengira jika kehidupan ini akan selalu menjadi cerita sederhana yang hangat; sebuah pikiran yang jika mampu kuubah di masa lalu ingin sekali tak kuletakkan sedikit pun harap itu di sana.
Meski Ayah kian sibuk, Ibu selalu ada menemaniku. Dia yang mengajariku membaca dan juga menanamkan rasa suka akan buku padaku, sering kali aku akan duduk di sampingnya dan menikmati desik suara lembaran buku yang dibalik.
"Baca kembali, Dokja," kata Ibu tiap kali aku tidak menyukai akhir cerita yang dia tulis.
Walau aku lebih banyak merengut dan merasa begitu enggan mengulang, aku tetap selalu membalik lembaran itu dari awal sesuai keinginan Ibu. Pantang bagiku membantah ibuku dan semua yang diujarkan olehnya kuperlakukan bagai titah yang menyimpan makna baik, sebab kutahu Ibu tak pernah menyuarakan kesia-siaan untuk kutekuni.
Aku akan membacanya berulang-ulang hanya untuk memahami bagaimana kisah sebenarnya yang ingin Ibu sampaikan.
Pada suatu waktu, aku membenci tokoh utama yang naif, pada waktu lain, aku menyayangkan hidup tokoh antagonis yang menyedihkan, di kesempatan berbeda, aku akan merasa bahwa tindakan tokoh utama memang selalu beralasan.
Setiap kali aku mengulang bacaan, akan ada berbagai sisi yang sebelumnya kulewatkan akhirnya kusadari. Bagai melihat sebuah kotak akuarium dari berbagi sisi, walau kupikir dasarnya terlihat sama saja, tetapi nyatanya selalu ada hal berbeda yang luput kuperhatikan jika memandangnya dari sudut lain.
Cerita-cerita itulah yang menemaniku tumbuh seiring musim berganti. Oleh karena itu pula, di masa kanak-kanak aku menjadi sangat mengagumi ibuku. Dia lebih cerdas dari semua guruku dan jauh lebih berwawasan dibanding para tokoh yang kubaca di buku.
Kendati begitu, sepanjang yang kuingat walau aku berusaha menjadi putra paling baik untuknya, aku tetap tidak pernah bisa mendapatkan senyuman ibuku.
Tidak peduli apakah nilai di lembaran tugasku selalu sempurna ataukah aku berhasil meraih satu per satu trofi untuk kubawa pulang. Tidak penting apakah aku mengiyakan semua permintaannya tanpa bantahan mau pun bagaimana semua orang tua murid mengidamkan putra mereka menjadi sebaik diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfiction[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...