Aku menelusuri kenanganku yang berkelebat di suatu waktu. Masih basah di jejak memoriku, teringat musim gugur pertamaku di New York. Saat itu aku masih menjadi siswa pindahan baru di sekolah asing. Bahasa Inggrisku belum begitu lancar, aku hanya belajar kurang setahun di bawah guru privat yang dipekerjakan langsung oleh Dad. Katanya, beliau adalah profesional yang menguasai sembilan bahasa asing dan punya cara sempurna untuk mengajarkanku menyesuaikan diri, tidak hanya pada bahasa melainkan juga pada budaya.
Aku belajar sepanjang tiga musim di bawah bimbingannya, termasuk satu liburan musim panas penuh di Korea sebelum langkahku beranjak meniti kehidupan baru di kota yang tak kukenal. Dengan kemampuan bahasa terbatas yang baru kupelajari dalam tiga bulan yang singkat, aku sudah didorong berbaur di antara para siswa asing. Itu adalah salah satu waktu tersulit bagiku.
Bukan hanya terhalang komunikasi, sedari awal aku sudah punya kesulitan yang besar untuk bergaul dengan orang lain. Kemampuan bersosialisasiku tersandung masalah pelik, sebab pada nyatanya aku tidak pernah punya seseorang yang benar-benar bisa kuanggap teman. Sebelum pindah ke Salvation, aku hanya tahu bagaimana orang dewasa selalu menyimpan prasangka negatif padaku, serta bagaimana anak-anak seusiaku akan selalu mempermainkanku, alih-alih melakukan beragam tindakan konyol untuk membuatku terlihat bodoh dan menyedihkan di mata satu sekolah.
Aku hanya bisa bertahan melaluinya hari demi hari, berusaha membungkam seluruh indraku dan menekan setiap gelegak emosiku. Sebab aku perlahan tersadar satu realitas, selama aku memadamkan hal yang disebut perasaan aku tidak akan merasa begitu terluka lagi.
Saat memandang refleksi bayanganku dari pantulan jendela mobil, terpikir olehku mungkin diriku di masa lalu tidak akan pernah bisa berandai—bahkan dalam delusi terbesarnya sekali pun—perihal akan ada masa yang datang untukku, sewaktu aku benar-benar bisa merasa jika kehadiran seseorang di sisiku rupanya tidak seburuk itu.
"Kim Dokja."
Panggilannya menggeser atensiku untuk menoleh padanya. Suara berat itu membawa nada ringan, berhasil meleburkan jejak memori yang menggenangiku.
"Kenapa?" tanyaku menyahut ketika mobil terjeda oleh lampu lalu lintas yang berubah merah.
Yoo Jonghyuk memerhatikan sejenak barisan anak TK yang dipandu oleh gurunya untuk berhati-hati menyeberang jalan. Aku turut mengalihkan pandanganku ke depan, tanpa sadar menggariskan senyum hangat melihat bagaimana riangnya tawa di paras lugu mereka. Tampaknya kelompok kelas itu akan pergi piknik atau melihat pemandangan pepohonan musim gugur.
Yoo Jonghyuk lantas kembali menoleh menatapku. "Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?" tanyanya seusai keheningan yang menyela.
Aku tidak segera menjawabnya, pikiranku mengembara sesaat. Anak-anak itu telah tiba di trotoar dengan selamat dan sedang berbaris untuk berjalan lagi ke suatu tempat. Mereka melangkah teratur sembari menyanyikan lagu ceria. Lampu berganti diwarnai hijau lantas mobil itu kembali melaju dengan kecepatan rata-rata.
Sebelumnya aku sempat menawarkan diri untuk menyetir, tetapi Yoo Jonghyuk segera menolak. Dia menggenggam kunci mobilnya seakan-akan dia tidak akan membiarkanku mencoba menyetir apa pun yang terjadi. Aku tidak tahu jika saat itu ternyata insiden mengebutku di waktu yang lalu telah menyimpan bayangan psikologis dalam benaknya.
Itu bukan mobilku jadi aku tidak punya hak menyuarakan protes. Aku hanya berkompromi dengan keinginannya. Beruntung dia bisa melajukan dengan stabil, kecemasanku ternyata sia-sia saja. Pemulihan pemuda ini memang tidak bisa diterima akal sehat. Kalau perkembangannya seperti ini terus, besok sudah tidak mustahil baginya masuk sekolah.
Aku menyandarkan punggungku ke kursi mobil, mencari posisi yang lebih nyaman. Bentangan panjang aliran sungai mendadak terlintas dalam benakku, menyulut keinginan untuk mendadak pergi melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfic[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...