"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Pertanyaan itu menghempaskanku kembali dari lamunan kosong yang membelengguku. Aku spontan meringkukkan satu senyuman di bibir. Malam ini seperti biasanya aku selalu mampir ke tempat Yoo Joonghyuk untuk makan malam. Seusai makan, kami biasa menghabiskan waktu berdua. Entah mengerjakan tugas bersama atau mengisi waktu dengan mengerjakan beragam soal latihan, kadang kala juga hanya bersantai seperti saat ini.
Yoo Joonghyuk sedang memainkan game di layar tv ketika aku menggunakan pahanya sebagai bantal dan berbaring di sofa panjang. Tadinya aku menggulir layar ponselku tapi pikiranku perlahan menguasai kesadaranku dan lambat laun aku jatuh dalam putaran gagasan yang tidak ada habisnya.
Isi benakku terus mengembara, meloncat dari satu lembaran ke lembaran lainnya, terus membalik berbagai halaman masa lalu entah yang ingin kuingat atau yang ingin kulupakan.
Aku tidak suka perasaan ini tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk menahan diriku dari memikirkan segalanya.
Percakapanku dengan Lee Gilyoung siang ini membawaku kembali mengingat masa-masa gelap yang tak ingin lagi kubuka.
Aku membalikkan badanku, memilih memeluk pinggang Yoo Joonghyuk dan membenamkan wajahku ke perutnya.
Aku tidak lagi mendengarkan suara berisik layar tv, Yoo Joonghyuk sepertinya mematikannya dan kini dia memusatkan seluruh atensinya padaku. Bisa kurasakan bagaimana jarinya menyusuri helai rambutku dengan hangat.
"Kim Dokja."
Panggilannya adalah cara untuk bertanya apa aku baik-baik saja. Aku menggeleng sebagai jawaban.
Dia mengusap punggungku kemudian menepuknya lembut, mengirimkanku ketenangan yang kubutuhkan. "Kau bisa selalu bercerita padaku jika ada yang membebanimu."
Aku tidak mengatakan apa-apa, tetap diam membungkam rapat seluruh isi kepalaku dan dia juga tidak mendesakku. Yoo Joonghyuk memberikanku ruang untuk tenang, tidak memaksaku jika aku tidak ingin mengatakan hal yang menggangguku.
Dia selalu seperti ini.
Dia membuatku tidak bisa terus menahan semua ini sendirian. Sisi pengertiannya selalu sangat ampuh meruntuhkan keteguhanku. Kenyamanan yang dia beri membuatku ingin menuangkan semua keluh kesahku padanya, sebab aku tahu amat jelas bahwa pemuda ini tidak akan menghakimi masa laluku.
Aku perlahan bangkit bangun dan duduk memunggunginya. Aku tidak ingin dia melihat ekspresiku atau membaca raut wajahku saat ini.
"Aku menolak Lee Gilyoung untuk bergabung dalam timku," ujarku kemudian.
Dia bergumam pelan, menandakan dia sedang mendengarkanku. Kuyakin dia juga sudah pasti tahu dan paham alasanku melakukannya.
"Aku tidak ingin melibatkannya lagi, sudah cukup untuknya melalui semua ini," lirihku mengingat bagaimana anak itu menjalani hari-harinya dalam perundungan.
Aku menautkan jemariku di atas paha, kecemasanku meningkat di luar kendaliku. Darahku berdesir cepat di bawah kulit sebab irama jantungku yang mendadak meningkat. Aku menekuk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku di sana. Napasku kian memberat dan bisa kurasakan bagaimana bahuku mulai bergetar.
Bayangan gelap yang tak pernah melepaskan belenggunya padaku kini kembali naik mengunci tubuhku, membisikkan kenangan demi kenangan yang semestinya sudah kututup rapat selama ini.
Aku bisa mendengar ayah kandungku berteriak di depanku, dia lagi dan lagi akan menghujaniku dengan serangkaian pukulan yang tak ada habisnya, mengukir jejak luka baru di atas bekas luka lama yang belum mengering.
Aku selalu membenci diriku di masa lalu.
Semua ketidakberdayaanku.
Kesendirianku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfiction[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...