Aku masih tidak bisa lupa bagaimana aku dirundung ketidaknyamanan setiap kali tatapku bersirobok dengan obsidiannya. Jika saja aku punya kemampuan mengintip secarik kebetulan di antara celah yang digarisi takdir, sudah pasti tidak akan pernah kubawa langkahku menuju pintu ini apa pun yang terjadi. Namun, apa yang bisa kulakukan jika semuanya sudah terjalin seperti ini?
Aku bahkan tidak dapat mengembuskan napas hanya untuk mengeluarkan kefrustasian yang membenam seperti ruang pengap dalam dadaku.
Yoo Jonghyuk baru saja akan membuka bibirnya ketika dia segera menoleh dan terbatuk. Hal itu spontan menarikku tersadar kembali akan kenyataan. Seluruh tatanan dalam benakku sempurna melesap seperti angin lalu.
Alih-alih kutatap dia ragu, "Hei, kau baik-baik saja?"
Pemuda itu mengangkat tangannya ke udara, memberiku tanda agar aku berhenti berbicara. Belum selesai aku mengatakan apa pun, dia lekas berbalik, beranjak gegas masuk kembali ke dalam apartemennya.
Aku melihat pintu yang tidak ditutup olehnya—entah dia lupa atau memang tak peduli—kemudian kembali kupandangi kotak kue di tanganku. Aku menghela napas berat. Bagaimanapun, aku juga tidak punya lagi hal yang ingin kulakukan setelah ini. Rasanya itu menyakiti harga diriku jika aku kembali begitu saja karena beberapa alasan terkait kecemasan.
"Sudahlah, anggap saja ini hari keberuntungannya." Kukuatkan batinku sembari melangkah masuk begitu saja tanpa permisi.
Ada sendal rumah yang tampaknya tersedia untuk tamu jadi aku mengganti sepatuku dengan sendal itu lalu masuk setelah menutup pintu. Interior apartemen pemuda itu begitu kontras dengan apartemenku. Tempat Yoo Jonghyuk didominasi oleh warna hitam dan kelabu. Seluruh perabotan, sofa, hingga tirai jendelanya hanya dihiasi warna gelap. Seakan-akan aku seperti memasuki ruangan yang begitu suram. Kediaman pemuda ini benar-benar menggambarkan kepribadiannya dengan tepat.
Kuletakkan kue itu ke atas counter dapur yang tak memiliki sekat batasan dengan ruang tamu. Yoo Jonghyuk di sisi lain tengah membuka pintu kulkasnya, kuperhatikan dia dengan ringisan dalam hati saat dia menenggak sebotol air dingin dari dalam kulkas. Aku tak tahan mengerutkan kening menyaksikan air dingin yang dikonsumsinya.
Bibirku bergerak begitu saja mengomentarinya tajam, "Kau batuk dan minum air dingin. Perpaduan yang sempurna untuk memperburuk penyakit."
Aku mendudukkan diriku ke kursi di depan counter lantas mulai membuka kotak kue yang kubawa. Kuabaikan dia sepenuhnya dan hanya fokus menyelesaikan tujuanku biar segera dapat angkat kaki dari sini.
Yoo Jonghyuk menoleh ke arahku, dia meletakkan botol kaca yang telah ditenggaknya setengah ke atas meja. Tekanannya agak sedikit kuat sehingga gema botol itu bergema ke seisi ruang. Namun, aku sepenuhnya mengabaikan protes diam-diamnya. Toh, tidak ada yang salah dari yang kuujarkan.
"Jadi apa kau tidak masuk sekolah karena sakit?" Kulirik sekilas wajahnya yang sedikit merah, tampaknya dia demam.
Aku beranjak memutari counter, melewatinya begitu saja yang bersandar di dekat kulkas. Kuraih pisau di dekat wastafel lantas menarik salah satu yang berukuran sedang kemudian mulai memotong kue yang kubawa.
Aku tidak terbiasa memegang pisau untuk memotong kue alhasil potongan itu tampak mengerikan dan sangat tidak simetris. Sudahlah, yang penting kuenya terbagi walau sedikit berantakan. Yah, kurasa ini sedikit terlalu banyak? Hiasan mawarnya yang indah kini telah hancur tak berbentuk lagi dengan olesan krim yang tak rata setelah aku tak sengaja beberapa kali menyenggol lapisannya, alhasil tangankulah yang kini dipenuhi krim. Aku terdiam sejenak, meragu.
"Tak masalah, rasanya tidak akan terpengaruh," batinku meyakinkan diriku.
Di belakangku, Yoo Jonghyuk memerhatikan potongan kue itu dengan pandangan serius. Aku menoleh padanya, tanpa perlu membaca pikirannya siapa pun akan tahu apa yang mendiami benaknya saat ini. Aku sama sekali tidak mau memahami pandangannya yang jelas-jelas mengkritik keterampilanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Is It Just Me? (JoongDok) - HIATUS
Fanfiction[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Kim Dokja berharap kepulangannya ke Seoul akan membawanya pada garis hidup normal yang diimpikannya. Sayang sekali bahwa Dewi Fortuna tak pernah memihaknya. Orang tuanya justru memasukkannya ke SMA Konstela...