Bab 2 : Ibu

151 11 0
                                    

Barra tersentak dari tidurnya ketika terdengar ketukan di pintu kamar, disusul dengan suara panggilan dari orang yang paling dicintainya di dunia ini.

"Barra! Bangun! Sudah mau Maghrib!"

Kenapa Ibu sudah datang? Tanyanya bingung dalam hati. Namun seketika ia tersadar. Dibukanya pintu kamar.
"Maafin Barra, Bu. Ketiduran lagi..." Sesalnya seraya meraih tangan sang Bunda dan menciumnya.

Wanita setengah baya itu hanya tersenyum kecil.  Dibukanya kerudung yang menutupi rambutnya yang mulai beruban lalu duduk di kursi makan. Wajahnya terlihat letih.
"Ibu kan, sudah bilang kamu enggak usah sering-sering jemput. Ibu kan, bisa naik ojek online. Cuma bikin capek kalau kamu harus bolak balik jemput," sahutnya sambil mengeluarkan sebuah kantong plastik dari dalam tas besarnya. "Kamu sudah makan?" Tanyanya pada Barra yang langsung berjalan ke dapur untuk mengambil wadah makanan.

"Tadi siang sih, udah," sahut Barra seraya membuka kantong plastik berisi makanan itu dan menaruhnya dalam wadah.

"Pasti makan mie lagi," Ibu memandang Barra dengan raut wajah yang membuatnya tak bisa berbohong.

Sambil tersipu Barra menganggukan kepala, membuat Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu harus menjaga kesehatanmu, Barra. Kamu sudah pernah kena gejala Thypus. Biaya berobat itu sekarang semakin mahal."

"Ya, Bu... Sekarang udah jarang kok," sahut Barra dengan rasa bersalah. Dipandangnya Sang Ibu dengan ragu. Pikirannya berkecamuk. Apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan Alma?

"Bu..."

Ibu menoleh. "Ada apa? Bayaran kuliah lagi?"

Barra menggeleng. Ditatapnya wajah letih wanita itu. Seketika hatinya gusar. Ini bukan saat yang tepat. Ah! Ingin sekali rasanya ia cepat-cepat lulus kuliah agar Ibu tak harus bekerja keras lagi demi membiayai kuliahnya.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanya Ibu lagi melihat Barra yang tampak ragu.

"Nanti aja, Bu. Barra mau makan dulu," sahut Barra akhirnya.

Ibu mengangguk. "Kamu makan duluan saja dulu. Ibu makannya nanti, habis Maghrib," ucapnya. 

Kini Ibu beranjak bangun dan masuk ke dalam kamarnya. Barra tahu, Ibu akan berada di dalam kamar untuk beristirahat sejenak hingga Maghrib tiba. Dan setelah makan malam, Ibu akan kembali masuk ke dalam kamarnya hingga lepas waktu Isya. Dan tepat pukul delapan Ibu akan berkutat di dapur, menyiapkan makanan untuk bekal ke kantor dan sarapan pagi mereka berdua.  Lalu Ibu akan kembali ke kamarnya lagi untuk beristirahat hingga subuh tiba. Begitulah kehidupan Ibu setiap hari. Ia hampir tidak pernah bersantai kecuali di waktu tidurnya. Bahkan libur akhir pekan pun Ibu gunakan untuk membereskan rumah dan  belanja bahan makanan di pasar untuk persedian makan mereka selama satu  minggu.

Sebenarnya Barra bisa mengerjakan semua yang dilakukan Ibu. Karena sejak kecil ia sudah terbiasa membantu Ibu merapikan dan membersihkan rumah setiap hari. Barra juga tahu apa saja belanjaan yang biasa dibeli Ibu di pasar. Tapi, Ibu malah menyuruh Barra keluar rumah untuk bersenang-senang. Bermain bersama teman-temannya atau menemani Alma. Ibu bilang ia harus menikmati hari-harinya saat ini. Karena masa muda itu tidak akan terulang kembali.

Barra tersenyum getir. Ibu bahkan tidak pernah mencoba untuk mencari pendamping hidup lagi setelah ditinggal pergi begitu saja oleh Ayahnya hingga kini. Laki-laki pengecut. Ia membenci Ayahnya. Sejak kecil ia memang sudah menganggap dirinya tak pernah memiliki Ayah. Kata Ibu, Ayah meninggalkannya saat usianya belum genap satu tahun. Ibu tidak pernah menceritakan apa yang membuat laki-laki itu pergi meninggalkan mereka berdua. Tapi ia memang tak perlu tahu. Baginya laki-laki itu tidak pernah ada dalam hidupnya.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang