Bab 21 : Menyelamatkan Dominik

59 8 0
                                    

"Jalan, Pak!" Perintah Barra kepada supir sesaat ia melompat masuk ke dalam taksi yang menunggunya.

"Gimana, Bar? Mereka percaya?" Tanya Alma tak sabar.

"Aku sogok sama sisa uang booking yang masih dua hari itu. Aku bilang kita buru-buru mau kejar kereta ke Jakarta."

"Jakarta?"

"Untuk mengecoh. Karena cepat atau lambat mereka akan tahu juga. Yang booking penginapan kan, Dominik. Dan mereka menyimpan datanya.

"Oh!" Alma menepuk keningnya. "Tau gitu kita langsung kabur aja, enggak usah bilang-bilang."

"Mereka akan tambah curiga. Kita buat resepsionis enggak curiga untuk mengulur waktu."

"Apa Dominik sudah di jalan?"

Barra melirik jam di ponselnya. "Mestinya sih, sudah," sahutnya seraya membuka ponsel lalu menekan nomor Dominik. Namun beberapa saat kemudian Barra menutup ponselnya kembali.

"Kenapa?"

"Kayaknya hapenya mati. Nanti aku coba lagi."

Namun setelah menunggu hampir satu jam di dalam taksi,  ponsel Dominik belum juga tersambung.

"Aneh...!" Barra mengerutkan kening. Kedua matanya berputar-putar, memikirkan semua hal buruk yang mungkin terjadi.

"Apa terjadi kecelakaan?" Tanya Alma gusar.

Sesaat Barra memandang Alma. Lalu ditekannya nomor yang lain. "Aku coba telepon ke toko orang tuanya." Beberapa saat kemudian ia sudah berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Namun wajahnya berubah kebingungan setelah menutup teleponnya.

"Bar..." Suara Alma terdengar semakin gusar.

Barra kembali mengerutkan keningnya. "Kata Ibunya, Dom pergi selepas subuh tadi. Mestinya dia sudah sampai..."

"Dan mestinya dia sudah di penginapan lalu menelepon kita..." Kini Alma pun ikut kebingungan.

Barra terdiam sesaat.  Suasana mendadak hening. Alma menatapnya tanpa berani bertanya. Ia sungguh takut membayangkan hal buruk menimpa Dom.

"Pak, kita balik lagi ke penginapan tapi enggak usah masuk ke dalam," Perintah Barra tiba-tiba pada supir taksi. Wajahnya terlihat semakin tegang. Ia berharap dugaannya meleset. Ia berharap Dominik baik-baik saja dan hanya kehabisan baterai ponselnya.

Dua puluh menit kemudian, taksi sudah berhenti di samping pagar tembok penginapan yang tinggi. Barra keluar dari dalam taksi dengan topi dan masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Lalu masuk ke dalam area penginapan setenang mungkin, agar tak ada yang mencurigainya. Matanya  menelusuri parkiran kendaraan, lobi resepsionis, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan pondok yang baru saja ditinggalkannya itu.  Dilihatnya sebuah mobil van berwarna putih dengan plat Semarang dan sebuah mobil lain yang pernah dilihat sebelumnya. Tak berpikir lama, dengan cepat ia pun berbalik keluar dari area penginapan.  
"Dom ketahuan!" Pekiknya seraya melompat masuk ke dalam taksi yang menunggunya. Diperintahkannya supir untuk segera pergi.

"Hah! Maksudnya?" Wajah Alma berubah panik.

"Mobil Dom terparkir di depan pondokan kita, dengan mobil SUV yang waktu itu membuntuti kita."

"Pengawal-pengawalku?"

"Aku enggak liat orang-orangya. Tapi mereka pasti orang-orang Papamu juga."

"Ya, Tuhan!" Suara Alma bergetar. Ia hampir menangis.

Barra melepas masker dan topinya. "Mudah-mudahan Dom cukup pintar untuk enggak bilang kita mau ke Bali. Mereka pasti udah tanya-tanya resepsionis, dan udah dapat info kalau  kita mau ke Jakarta," harapnya dengan nada cemas.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang