Bab 27 : Dejavu

54 7 0
                                    

Barra menghentikan laju motornya saat lampu merah mulai menyala. Kedua matanya menatap kaca spion dengan tajam. Diperhatikannya motor  berwarna hitam itu, yang sengaja bersembunyi di balik sebuah mobil di belakangnya. Tapi ia tak bisa mengenali wajah pengendaranya yang tertutup rapat oleh helm berkaca gelap.  Diambilnya gambar motor itu dengan ponsel. Namun seolah mengetahui, sesaat kemudian motor berwarna hitam itu pun menghilang diantara kerumunan motor lainnya saat lampu hijau menyala kembali.  Barra mencoba melambatkan laju motornya, menunggu motor itu muncul kembali. Namun, hingga ia masuk ke dalam parkiran kampus, motor itu masih tak nampak.

Kali ini ia sudah tidak takut. Tidak ada lagi yang dipertaruhkannya. Ia hanya sangat penasaran. Sudah tiga hari orang itu diam-diam mengikuti  dan mengawasinya setiap hari.  Setiap ia keluar rumah menuju kampusnya. Dan mengikutinya kembali saat pulang. Ia tahu mereka adalah orang suruhan Sang Jenderal. Tapi buat apa? Apa tujuannya mengawasinya kembali? Bukankah mereka tahu Alma tidak bersamanya?

"Hei!" Erina tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan wajah ceria sesaat ia sampai di kelas.

"Loh, katanya lo ada praktek di rumah sakit?" Tanya Barra sambil menghempaskan tubuhnya di atas kursi, dan menyapa teman-temannya yang sudah berdatangan.

"Ya. Sebentar lagi. Aku cuma ingetin, nanti sore jangan lupa jemput. Kita kan, mau nonton." Erina mencondongkan tubuhnya di atas meja. Mencoba menghalangi pandangan teman-teman Barra yang tengah memperhatikan mereka.

Barra terdiam sesaat. Sejak kemarin Erina menyebut dirinya dengan 'aku'?  Mengingatkannya kembali pada Alma. "Ya. Ingat. Di rumah sakit yang biasa, kan?" Sahutnya seraya menarik lembut bahu Erina dari atas mejanya.

Erina mengangguk senang.

"Lo, eh... kamu udah tanyain lagi kabar Alma pagi ini?" Ah! Kenapa ia jadi ikut-ikutan?

Erina tersenyum melihat Barra yang salah tingkah dengan ucapannya sendiri.
"Udah... Masih liburan kata pengawalnya. Enggak tau kapan pulangnya." Wajah Erina tiba-tiba berubah. Sekarang ia seperti tak suka jika Barra menanyakan kembali tentang Alma.

"Oh..." Barra menarik nafasnya dalam-dalam. Ia tahu, Erina pasti bosan dengan pertanyaannya. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kabarnya setiap hari. Sudah dua minggu Alma berlibur. Dan ia sangat merindukannya. Kenapa lama sekali perginya? Batinnya kembali resah. Apakah ia tidak kangen padanya? Lalu kalau ia masih berlibur, mengapa ia masih diawasi. Aneh sekali!

"Aku pergi dulu, ya?" Tepukan Erina di bahunya menyadarkannya. Barra mengangguk lalu membalas lambaian tangan Erina yang berlari meninggalkannya.

"Gak dapet anak jenderal. Temennya lu embat juga!"

Barra menolehkan wajahnya pada sumber suara. Niko, temannya yang paling usil dan paling kepo itu tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. 

"Apaan, si lu. Dia kan, sumber informasi gua," sahut Barra dengan malas.

"Tapi lu juga suka, kan...?" Goda Niko dengan senyum menyeringai.

Barra menggeleng.

"Ah, masa...? Manggilnya aja udah kayak orang pacaran," goda Niko lagi.

"Ya, dianya aja yang duluan. Gua ngikutin aja."

"Berarti dia suka sama lu...," bisik Niko.

"Mana mungkin, Nik? Dia sahabatnya Alma." Barra menjauhkan wajahnya dari wajah Niko yang mendekat.

"Hari gini gak ada yang gak mungkin, Bar. Dia tau cepat atau lambat lu pasti putus sama Alma. Makanya dia deketin lu."

Barra memandang temannya itu dengan kesal. "Lu bukannya dukung gua!" Dengusnya.

"Realistis aja, men. Buktinya begitu lu balik ke Jakarta, Alma malah ngilang."

"Masih liburan..."

"Lu yakin dia liburan selama itu?  Gak diumpetin bokapnya? Kuliahnya kan, sebentar lagi? Emangnya gak sayang ditinggalin begitu aja? Atau jangan-jangan dia emang gak mau ketemu lu lagi..."

Sebenarnya Barra sudah ingin menyumpal mulut Niko yang terus saja mengganggunya itu. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatnya berpikir ulang. Keningnya berkerut. Matanya berputar-putar.  Ditatapnya wajah temannya itu. Niko memang menyebalkan, tapi dia juga orang yang paling realistis pemikirannya diantara teman-temannya.

"Makanya, jangan maen sama cewek mulu. Logika lu jadi ketutup sama perasaan." Niko menunjuk kepalanya dengan telunjuk, lalu tersenyum senang melihat wajah Barra yang kebingungan.

...

"Kita mau nonton film apa sih?" Tanya Barra dengan malas di tengah antrian  tiket yang mengular panjang di depan loket bioskop.

"Film romantis!" Sahut Erina dengan wajah sumringah.

Barra terdiam. Dipandanginya wajah Erina dari samping. Ingatannya kini kembali pada kenangan indah saat ia mengajak Alma menonton film romantis di Kota Malang. Mengapa Erina sering sekali membuatnya dejavu?

"Kenapa?"

Pertanyaan Erina mengejutkan Barra. Erina tengah menatapnya dengan senyum tersipu. Barra buru-buru mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Ah! Ia telah membuat Erina salah sangka.

Sudah setengah film diputar, tapi Barra masih belum bisa menikmatinya. Perkataan Niko terus mengganggu benaknya. Membuatnya semakin resah. Benarkah Alma sudah menyerah? Ia sudah tidak ingin melihatnya lagi? Tapi mengapa ia masih diawasi? Mengapa Sang Jenderal begitu takut ia akan kembali membawa Alma pergi, padahal Alma tengah bersamanya? Rasanya tak masuk akal.

Sebuah sentuhan lembut menyadarkan Barra kembali. Dilihatnya Erina tengah memegang tangannya dengan mata berkaca-kaca. Barra hampir saja terkejut saat kemudian menyadari adegan dalam film di depannya membuat kaum perempuan di dalam bioskop itu beramai-ramai menitikan air mata.
"Kamu sedih?" Bisik Barra, yang dijawab Erina dengan anggukan.

Barra ingin tertawa. Tapi ia takut Erina akan marah. Akhirnya dibantunya Erina menyeka air matanya dengan jemari. Sesaat Erina menatapnya dengan mata yang basah, lalu perlahan menjatuhkan kepalanya di Bahu Barra. Sekali lagi Barra tertegun. Ia kembali dejavu. Kenangan indahnya bersama Alma kembali muncul. Ia ingat saat Alma bersandar di bahunya selama film diputar, lalu tertidur saat ia mengusap-usap kepalanya.

Dan kini, tanpa ia sadari tangannya mulai mengusap-usap rambut Erina. Membuat Erina kini membenamkan wajah di dadanya. Lalu memeluknya erat  hingga film berakhir.

"Makasih, ya!" Erina mengulurkan helm pada Barra dengan raut wajah berseri-seri saat mereka tiba di depan rumahnya.

Barra mengangguk. "Besok-besok nontonnya film komedi aja, biar kamu enggak nangis," seloroh Barra.

Erina tersenyum malu. "Hmm... kamu enggak mau mampir dulu?" Tanyanya saat melihat Barra menyalakan kembali motornya.

Barra menggeleng. "Udah malam. Lain kali aja," sahutnya. "Hm, besok aku enggak ke kampus. Gak ada kuliah."

"Ooh... aku boleh main ke rumah kamu gak besok sore?"

Sejenak Barra terdiam ragu. Sejak bersama Alma, belum pernah sekali pun ia mengajak  perempuan lain ke rumahnya.

"Rumah kamu kan, dekat dari sini. Aku sekalian balik dari kampus langsung ke rumah kamu nanti."

"Ooh... Boleh," sahut Barra akhirnya, setelah melihat wajah memohon Erina yang sulit untuk ditolaknya. Mungkin kalau cuma Erina Alma enggak akan marah, batinnya.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang