Barra baru saja akan memejamkan mata di atas sofa saat terdengar sebuah ketukan di pintu rumahnya.
Erina berdiri di hadapan Barra dengan senyum merekah lebar sesaat pintu terbuka. "Martabak!" Serunya sambil mengangkat kantong plastik berisi sekotak martabak di tangannya.
"Thank you!" Barra tersenyum gembira menyambutnya. Ia memang tengah kelaparan setelah membersihkan rumah sejak siang tadi.
"Kamu sendirian?" Tanya Erina seraya memandangi sekeliling rumah lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
Barra mengangguk. Lalu dengan tak sabar dibukanya kotak martabak manis itu dan memasukan sepotong ke dalam mulutnya. "Sebentar lagi juga Ibu pulang," sahutnya dengan mulut yang penuh, membuat Erina tersenyum senang melihatnya.
"Kamu lapar?" Tanya Erina.
Barra kembali mengangguk. "Kamu kok, tahu aku suka martabak manis klasik?" Sahutnya seraya beranjak mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam lemari es lalu diulurkannya pada Erina.
"Oh, aku enggak tahu kalau kamu suka. Kebetulan itu pavoritku juga," sahut Erina.
"Kayaknya kamu capek banget?" Tanya Barra melihat wajah Erina yang tampak kelelahan.
Erina mengangguk. "Kamu juga," sahutnya sambil meneguk minumannya.
"Aku Baru selesai bersihin rumah."
"O ya?"
"Ya, kan mau manyambut kamu," goda Barra membuat Erina tersipu.
"Benar kata Alma kamu tukang gombal!"
Barra tertawa. "Kalau sama Alma aku enggak pernah gombal. Semuanya aku ucapin setulus hati. Almanya aja yang suka enggak percaya," ucapnya. Dimasukannya kembali sepotong martabak ke dalam mulutnya.
"Berarti sama aku enggak tulus, dong..." Sungut Erina.
Barra memandang Erina yang duduk di sampingnya dengan salah tingkah. "Oh, bukan begitu. Mmm, maksudku..."
"Gak apa-apa, aku ngerti, kok..." Sahut Erina. Dipandanginya Barra dengan sungguh-sungguh. "Mmm... aku dapat kabar enggak enak buat kamu."
"Dari Alma?" Barra menatap Erina dengan mata membulat. Hatinya mendadak gusar.
Erina mengangguk. "Hmm, katanya Alma enggak mau balik lagi ke Jakarta. Dia mau tinggal di rumah neneknya, di Surabaya."
Kini Barra memandang Erina dengan bingung. Keningnya berkerut. "Terus kuliahnya?"
Erina mengangkat kedua bahunya. "Mungkin cuti panjang," sahutnya.
Barra beranjak bangun. Lalu berjalan hilir mudik seperti orang kebingungan. Diremas-remasnya rambutnya. "Gak mungkin..." gumamnya.
Erina menarik nafasnya dalam-dalam. "Mungkin dia ingin menghindari Ayahnya."
"Dan aku?" Barra menoleh pada Erina seolah meminta jawaban. Tapi Erina malah terdiam. Ia tampak ragu.
"Jawab, Rin!" Tanyanya lagi. Kini ia duduk di samping Erina, dan mendekatkan wajahnya.Erina menyentuh tangan Barra. "Aku enggak tahu, Bar..."
Barra menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. Matanya terpejam. Semua fakta ini membingungkannya.
"Bar..." Erina kini menggenggam tangan Barra. "Maafin aku..."
Barra membuka kedua matanya. "Kamu enggak salah... aku cuma bingung harus bagaimana."
"Jalani aja yang kamu bisa. Kalau Alma memang jodoh kamu, pasti jalannya juga akan gampang. Tapi kalau susah... kamu mesti ikhlas."
"Ngelepasin dia?" Suara Barra terdengar bergetar.
Erina menatap wajah Barra. Lalu mengangguk.
"Gak mungkin, Rin... dia bilang akan perjuangin aku..."
"Bagaimana caranya dia perjuangin kamu, kalau sekarang aja dia menghilang!"
Seketika Barra terhenyak. Ditatapnya Erina dengan tajam. "Apa kamu bilang? Hilang?"
Sesaat Erina terdiam begitu menyadari ia telah salah bicara. Wajahnya mendadak kaku. Dipandanginya Barra dengan salah tingkah. "Hmm... Maksudku... dia mencoba menghilang ke rumah neneknya untuk menghindari kamu," jawabnya dengan gugup.
Barra menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eggak, Rin. Kamu enggak bilang begitu. Ucapan kamu enggak sama. Tadi kamu bilang, Alma ke rumah neneknya untuk menghindari Ayahnya. Lalu kamu bilang sekarang dia menghilang." Barra memegang kedua bahu Erina. "Please, Rin... katakan yang sejujurnya..." Matanya kini berkaca-kaca.Erina tertunduk. Tak berani memandang wajah Barra yang menatapnya sangat dekat. Ditariknya nafas dalam-dalam "Aku cuma tahu itu, Bar. Pengawalnya bilang dia menghilang di Surabaya sejak beberapa hari yang lalu."
Barra memandang Erina tak percaya. Dilepaskannya kedua tangannya dari bahu Erina. "Apa hilangnya sejak tiga hari yang lalu?" Tanyanya dengan suara bergetar. Yang ditakutkannya akhirnya terjadi.
"Aku enggak tahu pasti. Tapi hampir seminggu yang lalu pengawalnya datang mencari Alma ke kampus."
"Dan kamu baru kasih tau aku sekarang?"
"Mereka bilang kamu enggak boleh tau." Kini Erina menatap Barra, mencoba membuat Barra mengerti alasannya.
Barra kembali mendekatkan wajahnya pada Erina dan kembali menatapnya lekat-lekat. "Demi Tuhan, Rin! Kenapa kamu sembunyiin semua ini dari aku? Kamu tahu setiap hari aku nanyain kabar Alma. Kamu juga tahu aku cemas sekali sama dia. Tapi saat kamu tahu dia menghilang, kamu malah mengajak aku bersenang-senang, makan, nonton film romantis, sementara Alma sendirian di luar sana?" Barra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu keterlaluan, Rin..."
"Mereka pasti bisa menemukan dia, Bar. Ayahnya menyuruh semua anak buahnya untuk mencari dia." Erina menarik tangan Barra. Mencoba meredakan amarahnya. Namun Barra malah semakin marah.
Barra menarik tangannya dengan kasar. "Kamu enggak ngerti, Rin! Alma enggak pernah pergi sendirian!" Teriaknya.
Erina menarik tubuhnya menjauh dari Barra. Bibirnya bergetar melihat wajah Barra yang memerah. "Maafin, aku..." lirihnya.
Tapi Barra sudah tidak mau lagi mendengarnya. Ia beranjak ke kamar lalu membanting pintunya dengan keras. Membiarkan Erina yang kini menangis sendirian. Ia sudah tidak peduli lagi padanya. Ia bahkan membiarkannya saat didengarnya Erina keluar dari rumahnya sambil terisak dan menutup pintunya dengan keras.
...
Barra melirik jam di ponselnya. Sudah pukul dua pagi. Dan ia masih belum bisa memejamkan mata. Ratusan kali sudah ia mengecek ponselnya. Berharap Alma menghubunginya. Atau paling tidak, mendapatkan kabar dari teman-temannya. Sejak sore tadi ia mencoba mencari keberadaan Alma melalui akun media sosialnya, email, bahkan menghubungi Dominik. Ia juga meminta Saskia untuk membantunya. Ia sudah tidak percaya lagi pada Erina. Ia kini sangat membencinya. Bagaimana mungkin ia bisa dengan tenangnya menyembunyikan kenyataan kalau sahabatnya itu menghilang? Mengapa ia tidak bersedih? Dan bagaimana bisa ia menyembunyikan semua itu darinya, padahal selama dua minggu ini mereka selalu bersama. Tega sekali!
Ia tahu pasti saat ini Sang Jenderal tengah kelimpungan mencari Alma karena Alma pasti tidak menghubungi mereka seperti waktu pergi bersamanya. Dan mungkin mereka menyangka ia tahu keberadaan Alma. Itulah mengapa mereka mengawasinya. Mereka menunggunya menemui Alma.
Tapi mengapa sampai sekarang Alma belum juga menghubunginya? Barra membuka kembali surat dari Alma. Ia seharusnya sadar, Alma akan benar-benar melakukannya. Ia sungguh-sungguh akan membuktikannya. Air mata Barra kini kembali menetes. Padahal kamu tidak perlu membuktikannya, Ma. Aku percaya kamu mencintaiku. Kini ia merasa sangat bersalah. Ia yang telah memaksa Alma pergi. Seandainya ia tidak mengirimkan video itu. Seandainya saja ia tidak terpengaruh oleh perkataan Erina yang menyesatkan. Bodoh sekali. Mengapa ia bisa terjebak lagi? Please, Ma... tolong hubungi aku... rintihnya. Diusapnya air matanya. Kini ia merasa kepalanya sangat berat. Dicobanya memejamkan kembali matanya. Ia ingin tidur sebentar saja, dan berharap ada keajaiban yang datang saat ia terbangun nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menculik Anak Jenderal
RomanceOriginal Story yang ditulis dengan alur dan plot tak terduga. Cerita tentang kisah sepasang anak muda yang memperjuangkan cinta demi restu orang tua. Dalam pelarian panjang yang penuh ketegangan dan drama. Diwarnai dengan romantisme, tawa dan air ma...