Bab 3 : Sang Jenderal

133 11 0
                                    

"Bu..." Barra memandang Ibunya dengan ragu.

Wanita itu menoleh sejenak. Dilihatnya wajah anak laki-lakinya yang tampak serius. Diletakannya selimut yang baru saja dilipatnya di atas kasur.
"Ada yang mau kamu bicarakan?" Tanyanya lembut seraya duduk di tepi tempat tidur.

Barra mengangguk lalu ikut duduk di samping Ibu.

"Hmm... Barra mau ketemu Ayahnya Alma, Bu. Nanti sore."

Sejenak wanita itu terdiam menatap Barra lalu tersenyum. "Alma yang meminta kamu?" Tanyanya lagi.

Barra kembali mengangguk.

"Kamu takut?"

Barra terdiam sesaat. "Ya, Bu..." Sahutnya pelan.

"Apa yang kamu takutkan? Ayahnya juga manusia."

Barra melepaskan nafas panjangnya. "Yang Barra takutkan bukan Ayahnya Bu, tapi pertanyaan-pertanyaannya nanti."

"Apa Alma benar-benar mencintai kamu?" Kini Ibu menatap Barra dengan sungguh-sungguh.

Lagi-lagi Barra mengangguk.

"Kalau begitu tidak ada yang perlu kamu takutkan. Katakan sejujurnya. Apa adanya.  Tentang perasaan kamu, keluarga kamu... Kalau memang dia jodohmu semua pasti akan mudah." Kini Ibu menatap kedua matanya dalam-dalam, telunjuknya menyentuh dada Barra. "Kamu hanya harus yakin dengan hatimu," ucapnya.

Barra mencoba tersenyum. Kini hatinya sedikit lega. "Ibu... suka kan, sama Alma?"

Pertanyaan Barra membuat Ibu tertawa kecil. "Tumben kamu menanyakan itu? Biasanya kamu enggak perduli Ibu suka apa enggak sama pacar-pacar kamu?"

"Ya... ini kan, beda Bu. Barra serius sama Alma." Barra tersipu malu.

Kini Ibu menyentuh bahunya. "Alma anak baik. Tapi kamu harus berhati-hati. Ayahnya begitu menjaganya. Jangan sampai kamu mempermainkan dan melukai hatinya."

Barra mengangguk dengan senyum. Tentu saja ia tidak akan mempermainkan Alma. Dari dulu pun ia tidak pernah mempermainkan wanita. Karena memang tidak ada wanita mana pun yang pernah dianggapnya serius, selain Alma. Kini hatinya semakin lega. Ia hanya harus yakin dan percaya diri di hadapan Sang Jenderal.

...

Diantar seorang pria berseragam hijau, Barra masuk ke dalam sebuah ruangan bernuansa coklat dengan furnitur kayu yang sangat elegan. Ia dipersilakan untuk duduk menunggu di sana. Tapi Barra malah berdiri terpaku. Matanya menelusuri seluruh ruangan besar itu dengan takjub. Di hadapannya terletak sebuah meja kayu besar dengan kursi kerja berbahan kulit, berhadapan dengan sepasang kursi kayu berukir untuk menerima tamu. Di dindingnya terpampang foto presiden dan wakilnya. Dan bendera merah putih dengan tiang kayu kecil berdiri tegak di sudutnya. Di tengah ruangan terdapat satu set meja dengan enam kursi kayu berukir yang sepertinya juga digunakan untuk menerima tamu. Barra menyadari, kini ia tengah berada di ruang kerja Sang Jenderal.

Ditelusurinya kembali seluruh ruangan besar itu dan memandangi satu persatu foto-foto yang tergantung dalam figura-figura berwarna emas.  Semuanya foto-foto Sang Jenderal bersama orang-orang penting negeri ini. Presiden, menteri, pemuka agama, dan orang terkenal lainnya. Tampak juga sebuah potret dirinya dengan seragam militer lengkap beserta tanda bintang dan kepangkatan yang berderet di dadanya. Kini ia merasa dirinya tak berarti.

Mata Barra kembali menelusuri foto-foto lain dalam ruangan itu. Dan ia kembali terpaku saat dilihatnya foto keluarga Alma dalam figura besar yang tergantung terpisah di dinding lainnya. Tampak Alma bersama kedua orang tua dan adik laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Barra menarik nafas. Disentuhnya foto itu. Keluarga yang sempurna. Kontras sekali dengan keluarganya. Batinnya tiba-tiba saja terasa pedih.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang