Bab 6 : Yogyakarta

101 11 0
                                    

Alma memandangi rumah tua berhalaman luas dan asri itu dengan wajah berseri. "Ini rumahnya?" Tanyanya pada Barra yang berusaha membuka pintu pagar rumah yang tak terkunci itu.

Barra mengangguk. "Kamu suka?" Tanyanya kembali. Dilihatnya Alma mengangguk senang.

Barra mengucapkan salam saat pintu pagar yang terbuat dari kayu itu terbuka. Dan sesaat kemudian seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih keluar dari dalam rumah. Sambil menyipitkan mata ia menghampiri dan menatap Barra.
"Mahendra?" Sapanya terkejut. Demikian pula Barra dan Alma. Namun dengan cepat Barra tersenyum.

"Barra, Kek. Cucu Kakek," ucap Barra. Diciumnya tangan Kakek. "Apa kabar, Kek?" Sapanya sambil memeluk Kakek yang sedikit gemetar saking terkejutnya.

"Barra?" Kakek meraba wajah Barra tak percaya. Sesaat kemudian ia tertawa penuh haru. Dipeluknya Barra dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya. Sudah tiga tahun lamanya mereka tidak bertemu, sejak Nenek meninggal dunia.

"Ini istrimu? Ayu sekali!" Tanyanya melihat Alma yang menyapa dan mencium tangannya.

"Hm, bukan Kek. Ini teman kampus Barra. Alma namanya," sahut Barra seraya melirik Alma yang salah tingkah.

"Ohh!" Tawa Kakek pun kembali terdengar.

"Kakek sehat? Ada salam dari Ibu." Barra menggandeng Kakek ke teras depan rumah.

Kakek mengangguk-anggukan kepala dengan senyum bahagia yang terus terpancar di wajahnya. "Sebentar, Kakek cari Sigit dulu di belakang," ucapnya. Dan sesaat kemudian terdengar suara kencangnya memanggil nama Sigit.

"Maaf, Mas! Aku lagi di kamar mandi tadi!" Sapa seorang laki-laki muda dengan tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah lalu menyalami Barra dan Alma.

Barra tersenyum. "Masih betah di sini, Git?" Sapanya.

Sigit tertawa sambil mengangguk. Sigit adalah adik sepupu Barra yang diminta Ibu untuk menemani Kakek setelah Nenek meninggal dunia. Namun Sigit tak bisa bercengkrama lama-lama karena Kakek kembali berteriak memanggilnya dari dapur. Menyuruhnya untuk menyediakan makanan dan minuman.

"Kakek itu kalau ada tamu heboh. Dia senang dikunjungi," ucap Barra pada Alma yang kini terduduk di kursi teras sambil memandangi pepohonan rindang di sekelilingnya.

Alma tertawa kecil. "Kamu sering ke sini?" Tanyanya sambil meluruskan kedua kaki.

Barra menggeleng. "Waktu kecil aku sempat tinggal di sini sama Ibu sebelum pindah ke Jakarta. Setelah itu hanya setahun sekali, kalau pas Hari Raya Lebaran. Tapi sejak Nenek meninggal dunia tiga tahun lalu, baru kali ini lagi ke sini."

"Barra!" Teriakan Kakek yang memanggilnya membuat Barra terkejut. Ia pun berlari menghampirinya.

"Ya, Kek?" Tanyanya. Dilihatnya Kakek tengah meminta Sigit merapikan kamar tamu.

"Nanti kamu dan istrimu tidurnya di sini saja. Kamarmu yang dulu kan, tempat tidurnya kecil. Ndak muat untuk berdua."

Sigit mengedipkan matanya memberi isyarat pada Barra. Barra pun megangguk tanda mengerti. Kakek memang menderita demensia. Dan kata Ibu sejak kepergian Nenek, penyakitnya bertambah parah.
"Ya, Kek nanti Barra tidur di sini," sahutnya seraya senyum.

"Nanti kamu saja yang di sini. Aku di kamar lain," bisik Barra pada Alma yang berdiri di belakangnya dengan bingung. Dan Alma pun menjawab dengan anggukan.

"Kakek mau tidak temani Alma melihat-lihat halaman rumah?" Tiba-tiba saja Alma sudah menghampiri Kakek.

Kakek mengangguk gembira. "Kakek baru saja menanam kacang panjang di kebun belakang. Ayo kita lihat!"  Serunya penuh semangat. Digandengnya tangan Alma keluar dari dalam kamar.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang