Bab 18 : Bromo

72 8 0
                                    

Barra menuntun Alma menuruni jalan setapak yang menurun menuju jalan utama. Pondok penginapan mereka memang berada di dataran yang lebih tinggi dan terpisah dari pondok-pondok lainnya. Membuat mereka dapat dengan leluasa melihat siapa pun dari atas sana. Namun, mereka juga agak sedikit repot jika harus sering-sering turun naik ke pondok, seperti yang mereka lakukan saat ini.

Sebenarnya Barra juga enggan untuk keluar dari pondok, andai saja ia tidak harus membeli pakaian untuk menghangatkan tubuhnya di suhu yang melebihi dinginnya pendingin udara itu.

Barra tersenyum melihat Alma menarik nafas lega setelah akhirnya ia bisa turun tanpa tergelincir. Dipeganginya tangan Barra menyusuri jalan utama yang ramai oleh lalu lalang wisatawan yang berjalan kaki dan bersepeda. Mereka harus berjalan kaki sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke pasar kaget yang hanya buka di pagi hingga siang hari itu.

"Mia, jangan gelendeton begitu, nanti orang-orang curiga. Kita kan lagi menyamar sebagai adik kakak," seloroh Barra.

Alma melepaskan tangannya dari pinggang Barra. "Ya, Mas Brian," sahutnya sambil cekikikan.

"Indah sekali, ya Bar." Alma memandang dengan takjub Gunung Bromo yang terlihat berdiri dengan megahnya di kejauhan.

Barra mengangguk. "Suatu saat nanti, kita akan kembali ke sini. Kita akan naik ke sana melihat sunrise seperti mereka. Barra menunjuk rombongan wisatawan yang baru saja turun beriringan dari atas gunung.

Alma mengangguk. Ia mengerti, saat ini mereka bukan sedang berlibur. Mereka sedang dalam pelarian. Mereka harus menjauhi keramaian. Alma memandang wajah Barra dari samping. Andai saja Papa mengerti, bagaimana Barra menjaganya. Alma meraih tangan Barra lalu digenggamnya.

Barra menoleh, ia tahu Alma memandanginya sejak tadi. "Kenapa?" Tanyanya.

Tapi Alma hanya menggeleng.

Barra tersenyum. Meski ia hanya dapat melihat mata Alma, tapi ia tahu ada senyum di balik maskernya. "Kamu diajak jalan-jalan ke pasar aja girang banget," ujarnya.

"Aku bahagia, Bar. Kalau Papa tetap enggak setuju dengan hubungan kita, aku enggak keberatan kamu culik aku selamanya."

Barra tertawa kencang, hingga orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka ikut menoleh.
"Kamu tahu gak istilah 'Stockholm Syndrom'?" Tanyanya setelah tawanya reda.

Alma kembali menggeleng.

"Sindrom yang dialami korban penculikan dimana dia merasa simpati, suka, bahkan jatuh cinta sama si penculiknya."

"Kayak aku?"

"Kalau kamu kan, sebenarnya aku yang jadi korban?" Sungut Barra dengan wajah cemberut.

"Bener juga. Kalau begitu aku mengalami Barra Sindrom," ucap Alma dengan tawa yang terdengar dari balik maskernya, membuat Barra pun kembali tergelak.

Setelah berjalan kaki hampir setengah jam, akhirnya mereka tiba di pasar kaget yang ternyata sudah ramai dengan para pengunjung yang kebanyakan para wisatawan. Pasar itu memang kebanyakan menjual bermacam kebutuhan para wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Tampak tenda-tenda kios yang berwarna-warni berjajar rapi di sisi kiri dan kanan pasar, hingga hanya menyisakan sedikit saja jalanan di tengahnya. Para penjual tampak menjajakan berbagai macam dagangan mulai dari jaket tebal dengan berbagai macam warna dan bentuk. Baju hangat, ransel, perlengkapan mendaki hingga tenda pun dan perlengkapan masak pun di jual di sana. Ada juga yang menjajakan makanan ringan, bunga dan cindera mata.

"Kamu gak pernah ya, ke pasar kaget?" Tanya Barra saat melihat mata Alma yang berbinar memandangi aneka barang yang dijajakan di sana. Alma menjawab dengan gelengan kepalanya.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang