Bab 20 : Pergi Lagi

55 9 0
                                    

Alma duduk bersandar di bahu Barra. Dengan kedua tangannya mengapit tangan Barra.
"Pindahnya nanti aja, Bar. Papa kan, enggak tahu kita di sini," bujuknya.

"Sebentar lagi juga akan tahu, Ma. Anak buahnya sudah sampai Semarang."

"Tapi aku masih betah di sini."

"Alma, kita bukan lagi liburan... kamu mau dibawa mereka pulang?"

Alma mengangkat kepalanya. "Tapi ke Bali naik mobil itu lama, Bar. Capek!"

Barra tersenyum. Dicubitnya hidung Alma dengan gemas. "Kamu kok, jadi manja?"

Alma beringsut dari duduknya. "Tapi aku enggak mau Dom pakai mobil Fast & Furious-nya lagi," rajuknya.

Barra mengerutkan keningnya. "Mobil Fast & Furious?"

"Mobil Pick up 'Cepat Maju' nya itu!"

Barra pun langsung terbahak. Ia baru menyadari arti nama toko oleh-oleh orang tua Dominik ternyata pelesetan arti dari kata 'Fast & Furious'.
"Enggak, kok! Aku udah bilang Dom, bawa mobilnya yang nyaman. Tadi sih, katanya udah dapat. Paling nanti siang dia sampai ke sini."

"Penginapan di Bali nya udah dapat?"

Barra mengangguk. "Dom udah sewa rumah dekat Ubud. Kamu pasti suka, di sana juga kan, dingin. Kata Dom dulu dia pernah nginap di sana. Pemiliknya udah kenal."

"Habis dari Bali kita ke Sumatera, ya? Kita menjelajah di sana." Wajah Alma kini berubah semangat.

Barra menggeleng. "Kita enggak akan pergi lagi, Ma. Kita akan tinggal di sana lebih lama. Apa pun yang terjadi, kita harus pulang. Kita enggak bisa ninggalin kuliah terlalu lama."

"Tapi, Bar..."

"Kita akan berusaha. Aku yakin, akan ada jalan yang terbaik buat kita."

"Apa itu saran dari Ibu?"

Barra kembali menggeleng. "Ibu meminta ku untuk memutuskan sendiri sebagai laki-laki dewasa. Aku memutuskan yang terbaik untuk kita berdua saat ini."

Kini Alma terdiam. "Bagaimana kalau kita enggak bisa ketemu lagi nanti?" Ditatapnya Barra dengan ragu.

"Aku yakin, pasti ada jalan buat kita." Barra menatap Alma penuh keyakinan. Ia tak ingin membuat Alma bersedih lagi.

"Mama telepon aku dari semalam pakai nomor yang beda. Memintaku untuk pulang. Dia menangis. Mama bilang, kalau aku pulang Mama akan bantu supaya kita bisa tetap berhubungan."

"Lalu kamu bilang apa?"

"Aku enggak percaya. Mama enggak akan bisa melakukan apa-apa untuk menolong kita. Aku tahu sifat Papa. Kalau sampai dia tahu Mama menolong kita, Papa akan marah besar. Mereka akan bertengkar lagi. Dan mungkin aku akan dikurung di kamar dan enggak boleh keluar lagi, seperti yang terjadi pada Alvan dulu."

"Adik kamu...?"

Alma mengangguk. "Waktu SMA, Alvan pernah pacaran sama teman sekolahnya. Tapi Papa enggak setuju. Papa enggak mau Alvan pacaran dulu sampai dia lulus. Tapi waktu itu pacarnya ulang tahun dan Alvan cuma mau ketemu sebentar untuk merayakannya. Mama lalu menolongnya. Tapi Papa akhirnya tahu, dan dia marah besar. Akhirnya Alvan dikurung di kamar selama satu minggu sebagai hukuman. Mama dan Papa lalu bertengkar hebat. Dari situ Alvan enggak berani lagi menentang Papa. Dia enggak mau bikin Papa dan Mama bertengkar lagi. Alvan orang yang sangat sensitif. Dia gampang sedih. Itulah sebabnya Alvan kuliah di luar negeri. Untuk menghindari Papa."

"Papamu enggak suruh dia masuk militer?"

Alma menggeleng. "Papa enggak bisa memaksa dia. Sejak kecil Alvan sudah bercita-cita menjadi pilot. Dia ingin sekali bisa terbang. Cita-citanya tumbuh semakin besar sampai Papa akhirnya enggak bisa lagi membujuknya. Meskipun Papa bilang dia bisa memilih masuk angkatan udara. Tapi Alvan tetap enggak mau. Dia enggak mau seumur hidupnya selalu dibayang-bayangi Papa."

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang