"Barra..."
Sebuah suara yang sangat dikenalnya memaksa Barra untuk membuka kedua matanya. Dilihatnya Ibu yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya, duduk di tepi tempat tidur, di sampingnya.
"Kamu sakit?" Ibu menyentuh keningnya.
Barra beranjak duduk di atas kasurnya. Lalu menggeleng pelan.
"Dari semalam kamu enggak keluar kamar. Makan malam kamu masih utuh. Kamu belum makan?" Wajah wanita itu terlihat cemas. Ia tahu ada yang tidak beres dengan anak semata wayangnya itu.
"Lagi malas, Bu..."
Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada apa dengan Alma?" Tanyanya.
Barra menatap Ibunya. Lalu tertunduk. Ibu sudah hafal dengan kebiasaannya.
Ibu tidak bisa dibohongi kalau ia bilang semuanya baik-baik saja.
"Alma... hilang, Bu..." Ucapnya dengan suara bergetar.Ibu menarik nafasnya dalam-dalam. "Sejak kapan?" Tanyanya lagi. Diangkatnya wajah Barra yang masih tertunduk.
"Katanya sudah seminggu."
"Dia belum hubungi kamu?"
Barra menggeleng.
"Dia pasti akan menghubungi kamu nanti. Mungkin saat ini dia butuh waktu sendiri."
"Untuk apa, Bu? Dia enggak pernah pergi sendirian."
Ibu mendekatkan wajahnya. Menatap Barra dari dekat. "Kalau dia belum menghubungimu, artinya dia belum mau kamu mencarinya, Bar."
Barra mengambil surat dan kotak putih itu dari atas meja, lalu diulurkannya pada Ibu.
"Lalu buat apa dia berikan ini pada Barra, Bu?"Ibu tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat membuka kotak itu dan membaca suratnya. Dihelanya nafas panjang. "Tapi kamu mau mencarinya kemana, Bar?" Tanyanya bingung.
Barra menggeleng. "Orang tuanya pun tak tahu, Bu. Sudah beberapa hari ini Barra diikuti oleh orang-orang suruhan Ayahnya. Kalau Barra tidak segera mencarinya, Barra takut dia kenapa-napa, Bu..." Kedua mata Barra kini sudah berkaca-kaca.
Ibu mengusap wajah Barra. Kedua matanya ikut berkaca-kaca. Ibu memang paling tidak bisa melihat anaknya menangis. "Pergilah, Nak..."
Barra menatap Ibunya dengan ragu. "Tapi kuliah Barra, Bu..."
"Ibu akan mengurusnya. Percuma kuliah kalau keadaan kamu seperti ini."
Barra memeluk Ibunya. "Terima kasih, Bu..."
"Pergilah... tapi jangan lama-lama. Kamu harus selalu kabari Ibu."
Barra mengangguk. Ibu memang selalu menjadi penyelamatnya. Kini ada sedikit senyuman di wajahnya. Meski ia tidak tahu kemana harus memulai. Tapi paling tidak, ada sedikit harapan untuk menemukannya.
"Ibu mau Barra antar? Barra sekalian mau ke kampus dulu untuk ijin cuti." Tanya Barra melihat Ibu berjalan keluar dari kamarnya.
Ibu menoleh lalu mengangguk. "Kamu mandi dulu dan sarapan."
...
Hari masih pagi saat Barra menginjakkan kakinya di stasiun Kota Baru, Malang. Matahari baru saja keluar. Barra merasakan tubuhnya menghangat. Ditariknya udara segar sebanyak-banyaknya. Berada di dalam kereta selama belasan jam dengan udara yang dingin membuat tubuhnya sangat kaku. Dihembuskannya nafas panjang. Rasanya baru kemarin ia berada di kota ini, dan sekarang ia kembali. Tapi tanpa Alma, rasanya sangat berbeda. Ada begitu banyak kenangan indah mereka di sini. Barra tersenyum pahit. Aneh rasanya. Diantara ketegangan dan ketakutan yang mereka hadapi di kota ini ia tetap bisa merasakan indahnya kenangan itu saat Alma bersamanya.Barra melirik jam di ponselnya. Dominik masih dalam perjalanan. Ia akan menunggunya sambil mencari tempat makan. Ibu baru saja mengingatkannya untuk sarapan pagi. Barra tersenyum. Ibu memang selalu menganggap dirinya masih kecil hingga harus selalu diingatkan untuk makan.
"Hai, Bro...!" Dominik datang dengan wajahnya yang lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Kota Semarang. Dia langsung duduk di hadapan Barra dan memesan sarapan.
"Sorry, Bro! Ngerepotin lu lagi." Barra menepuk bahu Dominik.
Dominik mengibaskan tangannya. "Alma kan, udah jadi teman gua juga. Lagian sekarang kan, kita perginya juga gak dikejar-kejar lagi."
"Kalau dikejar-kejar sih enggak, tapi kalau diikutin enggak tau juga."
Dominik mengerutkan keningnya. "Loh, bukannya mereka tahu Alma kaburnya sendirian?"
"Ya, mungkin mereka mengira Alma kasih tahu gua kaburnya ke mana?"
Dominik mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi lu yakin dia ke Bromo?"
Barra menggeleng pelan. "Gak tahu juga, Dom. Tapi, Alma enggak pernah pergi sendirian. Dia pasti akan pergi ke tempat yang udah dikenalnya dengan baik. Dia kabur dari Surabaya. Kayaknya lebih mungkin kalau dia ke sana. Lebih dekat."
Dominik kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Diaduk-aduknya lontong sayurnya yang baru datang. "Tapi gua masih bingung, Bar. Kenapa dia gak ngasih tau lu, ya? Nekat banget dia pergi sendirian."
"Gua juga gak ngerti. Gua yang salah. Gua udah nekan dia. Dia bela-belain susah demi gua, Dom..." Barra menarik nafasnya.
Dominik menepuk-nepuk bahu Barra. "Kan, lu bilang dia mirip Bapaknya. Keras kepala."
Barra tersenyum. Diseruputnya kopi hitamnya. Namun sesaat kemudian ia terdiam. Kedua matanya yang tajam melirik ke arah samping kirinya. "Dom, lu fotoin gua sekarang!"
Dengan bingung Dominik mengeluarkan ponselnya lalu mengambil foto Barra.
"Kita diikutin!" Bisik Barra saat Dominik memperlihatkan foto yang diambilnya itu. Barra menunjuk gambar dua orang pria yang tengah duduk di sisi kirinya itu sambil merokok. Mereka hanya berjarak dua meja saja darinya.
Dominik menghentikan suapannya. Tiba-tiba saja ia terbatuk. Diteguknya teh hangat di hadapannya sambil diam-diam melempar pandang ke arah kedua pria itu.
"Tenang, Dom. Mereka enggak akan macam-macam. Mereka cuma mau mencari Alma," bisik Barra lagi sambil menghabiskan sisa kopinya. Lalu dengan isyarat mata, ia lalu mengajak Dominik untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Apa kita samperin aja, Bar? Gak ada Alma gua gak takut!" Ujar Dominik begitu mereka masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi.
Barra tertawa. "Jangan mentang-mentang badan lu gede! Gak perlu pake otot. Gua punya cara ngusir mereka pake ini." Barra mengeluarkan ponselnya lalu menyalakan rekaman video. Diarahkannya kamera ponsel pada kaca spion di sampingnya begitu melihat kedua pria itu diam-diam mengikuti mereka dengan berboncengan sepeda motor. Dan saat mereka menyadari aksinya diketahui, motor itu pun mendadak melambatkan lajunya lalu berbelok ke arah yang berbeda.
Dominik melajukan mobilnya sambil tertawa saat dilihatnya motor itu akhirnya menghilang dari pandangan.
Dan entah mereka benar-benar menghilang atau hanya menjaga jarak agar tak terlihat, tapi kedua penguntit itu benar-benar tak terlihat lagi hingga mereka tiba di Bromo.
Dengan hati berdebar mereka memandangi penginapan itu. Lalu turun dari dalam mobil menuju ruang resepsionis dengan penuh harapan. Namun seketika harapan mereka pupus saat mengetahui Alma tidak pernah berada di penginapan itu lagi sejak terakhir bersama Barra. Resepsionis itu bahkan masih mengingat Alma dengan sebutan Mia.
Barra terduduk lemas. "Ke mana lagi, Dom?" Tanyanya bingung.
"Masa iya dia ke Bali?" Dominik memandang Barra ragu.
"Kita harus coba. Alma suka sekali di sana. Dia ingin tinggal lama di sana." Barra menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Perjalanannya akan sangat panjang kali ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/340625477-288-k117462.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menculik Anak Jenderal
RomanceOriginal Story yang ditulis dengan alur dan plot tak terduga. Cerita tentang kisah sepasang anak muda yang memperjuangkan cinta demi restu orang tua. Dalam pelarian panjang yang penuh ketegangan dan drama. Diwarnai dengan romantisme, tawa dan air ma...