Dari kursinya, Barra tak henti memandangi Alma yang tengah bersandar di tiang kayu teras dengan senyum yang terus tersungging di bibirnya. Wajahnya terlihat bahagia. Kedua matanya berbinar menatapi hamparan padi yang menguning di hadapannya.
Menyadari Barra yang terus memandanginya, Alma pun menoleh. "Kenapa?" Tanyanya dengan salah tingkah. Disesapnya teh hangat dalam cangkir yang sedari tadi dipegangnya.
"Kamu belum pernah liat padi, ya?" Senyum Barra.
Alma tertawa. Dipandanginya kembali hamparan padi di atas persawahan terasering yang menakjubkan di hadapannya. Udara sejuk dan matahari pagi yang bersinar lembut membuat suasana Ubud pagi itu sangat indah. Dan membuat rona kebahagian semakin terpancar di wajahnya. Alma menghirup udara segar dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kedua matanya terpejam. "Aku mau di sini lebih lama, Bar. Aku suka sekali di sini," ucapnya.
"Nanti ya, kalau kita honey moon kita ke sini aja. Murah," sahut Barra membuat Alma tergelak.
Barra menyesap kopinya. Masih dipandanginya kembali Alma dari samping. Tidak ada yang lebih melegakan hatinya selain melihatnya bahagia seperti saat ini. Entah serumit apa hidupnya selama ini, tapi selama bersamanya ia selalu melihat Alma bahagia dengan hal-hal sederhana. Hal-hal kecil yang ia anggap biasa dan kadang membosankan, tapi bagi Alma bisa menjadi sesuatu yang baru dan menyenangkan.
"Aku enggak mau pergi, Bar. Aku enggak mau pulang."
Ucapan Alma menyadarkan Barra dari lamunannya. "Kita berdoa aja, semoga Papa kamu berubah pikiran."
"Kalau enggak?" Kini Alma memandang Barra.
"Kalau enggak, kita harus tetap pulang. Kuliah kita belum selesai, Ma."
"Aku enggak perduli dengan kuliahku lagi."
"Alma..."
"Dua minggu ini akhirnya aku bisa ngerasain hidup bebas dari Papa. Meski kadang ketakutan, tapi itu setimpal sama kebebasan yang aku rasain bersama kamu. Aku enggak pernah ngerasa sebahagia ini, Bar."
"Tapi kita harus realistis, Ma. Kita harus pulang. Mungkin buat kamu ninggalin kuliah itu enggak masalah. Kamu bisa libur selama yang kamu mau. Dan mulai lagi kapan saja kamu inginkan. Tapi buat ku itu masalah besar. Aku enggak mau nambah beban Ibu lagi. Selama ini cita-cita Ibu hanyalah melihatku cepat diwisuda. Biar tugas dia untuk menyekolahkanku selesai. Tuntas!"
Alma kembali menarik nafasnya dalam-dalam. Dan dialihkan kembali pandangannya ke hamparan padi di hadapannya. Dan Barra pun kembali menyesap kopinya, sambil mengamati sekumpulan burung yang tengah memakan bulir-bulir padi di tangkainya. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Sampai kemudian terdengar teriakan nyaring dari dalam rumah.
"Baaaar!" Dominik keluar dengan ponsel di tangannya yang masih menyala.
"Nyokap lu nih. Daritadi hape lu bunyi. Kayaknya penting!"
Barra mengangkat ponsel dengan hati berdebar. Sesaat kemudian terdengar suara Ibu yang tidak ceria seperti biasanya. "Kenapa, Bu?" Tanyanya gusar.
"Kamu buka email-mu. Kampus kirim email. Katanya kamu susah dihubungi, akhirnya mereka telepon Ibu barusan. Mereka bilang kalau kamu enggak kembali ke kampus Senin besok, kamu akan dikeluarkan."
"Hah?!" Barra terhenyak di kursinya. "Tapi Barra udah ijin cuti sebulan, Bu. Dan mereka mengijinkan."
Terdengar tarikan nafas Ibu yang sangat dalam. "Sepertinya ini ada kaitannya dengan Alma, Bar. Papa Alma mungkin melaporkan kamu."
"Bagaimana bisa, Bu?"
"Orang seperti dia bahkan bisa mengeluarkan Ibu dari perusahaan kalau dia mau. Apalagi cuma mengeluarkan kamu dari kampus yang sudah jelas-jelas bawa kabur anaknya. Kalian bisa berjuang dengan cara lain. Enggak harus meninggalkan kuliah. Nanti Ibu akan bantu lagi."
Barra terdiam. Ia tak menduga sama sekali Sang Jenderal akan menyerangnya dengan cara seperti ini. Ia tahu, tak ada yang membuat Ibunya khawatir selain kuliahnya.
"Biarkan Alma di sana kalau dia tetap tidak mau pulang. Tapi kamu harus pulang. Selesaikan dulu urusan kuliahmu," ucap Ibu lagi sebelum kemudian menutup teleponnya.
Barra masih terpaku di tempatnya sampai kemudian sentuhan lembut Alma menyadarkannya.
"Bar..."
"Aku harus pulang, Ma..."
Alma menatap Barra tak mengerti.
"Aku harus kembali kuliah atau Papamu akan membuatku dikeluarkan dari kampus."
Alma menatap Barra tak percaya. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Kedua kakinya tiba-tiba terasa lemas. Dijatuhkannya tubuhnya di atas kursi.
"Jadi..." Dominik memandang Barra dengan bingung.
"Kita balik ke Semarang besok, Dom. Kita berdua. Dari Semarang baru gua balik ke Jakarta pakai kereta. Alma akan naik pesawat langsung dari sini." Barra memegang kedua bahu Alma. "Maafkan, aku. Tapi kita harus pulang. Kita akan berjuang lagi dengan cara lain."
"Dengan cara apa lagi, Bar?" Suara Alma bergetar. Dipandangnya Barra dengan air mata yang kini sudah menggenangi kedua matanya.
Barra memeluk Alma. "Pasti ada jalan, Ma. Kalau Tuhan merestui, pasti akan ada jalan buat kita."
...
"Ma..."
Barra menyentuh bahu Alma yang masih terdiam sesaat mobil berhenti di depan pintu keberangkatan bandara. Dibukanya pintu mobil. Alma menoleh sesaat. Diusapnya sisa air mata di kedua pipinya. Lalu dengan enggan beranjak turun.
Mobil sedan hitam berplat militer yang mengikuti mereka dari belakang pun ikut berhenti. Dua orang pria berseragam hijau turun dari dalam mobil. Mereka adalah utusan Sang Jenderal yang akan mengawal Alma hingga sampai di rumahnya dengan selamat. Dengan sigap mereka pun lantas menenteng tas dan barang bawaan Alma. Dan meminta Alma untuk segera masuk ke dalam gedung terminal yang akan membawanya kembali ke Jakarta. Pesawat Alma sebentar lagi akan lepas landas.
Alma memandang Barra tanpa kata. Karena sudah tak ada lagi kata-kata yang bisa diungkapkannya. Sejak kemarin Alma terus menangis setelah tak berhasil membujuk Sang Jenderal. Ia bahkan memeluk Barra hingga tertidur karena lelahnya.
"Sampai ketemu di Jakarta, ya?" Bisik Barra. Tapi Alma tetap terdiam. Ia bahkan tak lagi menoleh ke belakang. Barra terus menatap punggung Alma hingga menghilang dari pandangannya. Tak terasa air mata menetes di kedua pipi nya.
Dominik yang sejak tadi duduk di balik kemudi pun matanya ikut berkaca-kaca. Lalu cepat-cepat ia mengusapnya saat Barra masuk kembali ke dalam mobil yang akan membawa mereka kembali pulang.
"Kalau lu mau istirahat atau jalan-jalan dulu gua temenin, Bar." Ucap Dominik setelah beberapa saat keduanya terdiam. Dilajukannya mobil dengan perlahan.
Barra menggeleng. "Gua udah males, Dom," sahutnya tanpa menoleh.
"Alma nitipin ini buat lu." Dominik mengulurkan sebuah kotak kardus berwarna putih ke tangan Barra.
Barra membukanya dengan penasaran. Tampak di hadapannya setumpuk uang milik Alma yang biasanya ia simpan di dalam tas besarnya itu kini sudah berpindah ke tangannya. Barra menarik nafasnya. Lalu diambilnya sebuah surat yang terselip diantara tumpukan uang itu dan dibacanya dengan wajah penuh tanya.
Barra menatap Dominik. "Dia mau kabur lagi!" Serunya.
Dominik pun sontak menghentikan laju mobil. Ia tak bisa menahan rasa terkejutnya.
"Yang bener, Bar?" Tanyanya seraya merebut surat itu dari tangan Barra dan membacanya dengan keras."Simpan ini untuk mencariku nanti!"
Keduanya lalu saling berpandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menculik Anak Jenderal
RomantikOriginal Story yang ditulis dengan alur dan plot tak terduga. Cerita tentang kisah sepasang anak muda yang memperjuangkan cinta demi restu orang tua. Dalam pelarian panjang yang penuh ketegangan dan drama. Diwarnai dengan romantisme, tawa dan air ma...