Bab 1 : Alma

389 13 0
                                    

"Jadi...?" Alma menatap Barra, menunggu kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Barra menoleh sesaat. Diletakannya kedua sumpit di atas mangkuk mie ayamnya yang hampir habis.
"Hari Minggu ini?" Tanyanya lagi, memastikan. Keningnya berkerut.

Alma mengangguk tak sabar. Dilihatnya Barra kini mengusap wajahnya. Ditunggunya lagi beberapa saat. Tapi laki-laki di sampingnya itu malah termangu, hingga membuat kesabarannya habis.

"Ok! Terserah. Kamu memang gak pernah serius dengan hubungan kita!" Alma beranjak dari duduknya dengan kesal. Tapi tangan Barra keburu mencegahnya dengan cepat sebelum ia sempat melangkah.

"Jangan ngambek dong, sayang...?" Rayu Barra seraya menarik tangan Alma untuk duduk kembali di sampingnya. "Memangnya harus Minggu ini banget?" Tanyanya lagi membuat Alma melotot dan mendaratkan cubitan gemasnya ke tangan Barra. Dan Barra pun sontak menjerit. Membuat orang-orang di kantin kampus itu menoleh lalu tersenyum geli ke arah mereka.

"Aku kan dari tadi bilang, Papa mau dinas ke luar negeri. Dan ini permintaanku yang  keempat kalinya, dan permintaan Papa yang kedua kalinya!" Alma mengacungkan dua jarinya di depan wajah Barra yang masih mengusap-usap tangannya yang terkena cubitan.

"Ok! Ok!" Sahut Barra akhirnya sambil menghembuskan nafas dengan raut wajah pasrah.

"Kali ini Papa benar-benar serius, Bar. Papa enggak mau kita kucing-kucingan lagi. Lima bulan kita pacaran, Papa sama Mama sama sekali belum lihat wajah kamu." Alma memandang Barra dengan wajah memelas.

"Kenapa kamu enggak kasih liat foto aku dari hape aja?" Tanya Barra dengan wajah polos, membuat Alma kembali melotot.

"Kalau begitu mulai besok kita pacaran pakai hape aja, enggak usah ketemuan!" Alma kembali tak bisa menahan kesabarannya.

"Ok! Aku datang!" Sahut Barra buru-buru.   "Jangan marah-marah terus, dong!" Rayu Barra kembali seraya meraih kedua tangan Alma dan menggenggamnya. Disunggingkannya senyum termanis yang membuat Alma akhirnya menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Ia berusaha menenangkan dirinya kembali. Senyuman manis Barra selalu meluluhkan hatinya.

"Aku pegang kata-kata kamu. Kalau kamu sampai mengingkari janji... Kita putus!" Ujar Alma membuat Barra kini melotot kaget. Diteguknya hingga habis es tehnya dengan cepat sebelum kemudian beranjak dari duduknya dan mengeluarkan dompet dari saku celananya.

"Ah! Kamu selalu begitu. Kalau cuma mie ayam aku bisa bayar, Ma!" protes Barra dengan wajah cemberut saat dilihatnya Alma buru-buru membayar makanan dan minumannya.  Ia merasa malu melihat orang-orang di kantin itu kembali memandangi mereka sambil tersenyum-senyum.

"Kelamaan!" Sahut Alma seraya menarik tangan Barra keluar dari kantin yang ramai itu. Alma memang tidak suka berlama-lama di dalam kantin kampus.  Ia tidak suka dirinya menjadi pusat perhatian para mahasiswa di sana yang memang mengenal mereka berdua.
"Tenang aja... Aku akan tagih semuanya kalau kamu sudah kerja," ujarnya lagi melihat wajah Barra yang bersungut.

Dan kini mereka sudah berada di area parkiran motor. Barra membalas lambaian dan sapaan beberapa orang di sekitarnya. Semenjak berpacaran dengan Alma, ia merasa tiba-tiba saja banyak orang yang tidak mengenalnya kini ikut menyapa dan menegurnya. 

"Body guard kamu di mana?" Tanya Barra seraya memberikan helm pada Alma dan membantu mengenakannya.

"Nanti juga kalau kita jalan, dia muncul," sahut Alma acuh.

Dan benar saja, beberapa saat motor meluncur di jalan raya, sebuah SUV hitam dengan seorang pria tegap berseragam hijau dibalik kemudinya sudah berada tepat di belakang mereka. Barra tahu, Alma sebenarnya benci sekali harus selalu dikawal dan diawasi ke mana pun ia pergi, bahkan hanya untuk ke kampus sekali pun. Tapi ia tak kuasa menolaknya. Sebagai salah seorang anak Jenderal yang tengah berkuasa di negeri ini, mau tidak mau ia harus mengikuti semua peraturan  sang Ayah, atau ia tidak akan diijinkan keluar rumah sama sekali.

Dari kaca spion motornya Barra mengawasi pengawal berambut cepak yang terus mengikuti motornya. Ditepuknya tangan Alma yang melingkar erat di pinggangnya. "Jangan terlalu nempel, nanti dilaporin Papa kamu!" Teriaknya melawan deru bising suara kendaraan di jalan yang ramai itu. Tapi seolah tak mendengar Alma malah semakin mengeratkan pelukannya, dan menyandarkan kepala di punggungnya. Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah gerbang kompleks perumahan mewah.

Barra mematikan mesin motornya. Dilihatnya mobil SUV hitam itu pun ikut berhenti tepat di belakang mereka. Dan pria tegap itu lalu dengan cepat keluar dari dalam mobil dan membuka pintu belakang.  Dibiarkannya pintu itu terbuka sambil menunggu Alma yang bahkan masih malas untuk turun dari atas motor. Barra menyapa pria itu dengan senyum dan anggukan hormat. Lalu dikedipkannya mata pada Alma, memberinya isyarat untuk segera turun.  

"Sampai besok, ya?" Ucap Alma seraya memberikan helm, lalu melangkah gontai masuk ke dalam mobil.

Barra melambaikan tangan dan menunggu sampai mobil itu masuk ke dalam kompleks perumahan dan benar - benar menghilang dari pandangannya. Dihembuskannya nafas panjang. Diluruskannya kedua kakinya sejenak. Ia harus menempuh lagi separuh perjalanan yang dilaluinya tadi untuk pulang ke rumahnya. Sejak mereka mulai berpacaran Alma selalu minta diantar pulang dengan motornya.  Awalnya ia sempat menolak keinginan anehnya itu. Bagaimana mungkin ia membiarkan seorang anak Jenderal berpanas-panasan di bawah terik matahari dan udara yang berdebu di atas motornya, sementara mobilnya mengikuti dari belakang.

Tapi Alma tidak perduli. Ia sangat suka dibonceng sambil memeluk dan menyandarkan kepala di punggungnya saat motor melaju. Untung saja pengawal yang selalu mengikutinya itu tidak melaporkannya. Bagaimana jadinya kalau Sang Jenderal sampai tahu anak perempuan semata wayangnya itu selalu diantar pulang naik motor?

Atau jangan-jangan dia sudah tahu makanya ingin sekali bertemu dengannya? Barra mengerutkan keningnya. Ah! Ditepuknya keningnya. Bodoh sekali! Mana mungkin pengawal itu tidak memberi tahukannya? Tiba-tiba saja ia merasa kepalanya menjadi pusing.  Dinyalakannya kembali motornya, lalu dengan cepat melajukannya ke jalan raya untuk pulang ke rumahnya.

Dan kini Barra sudah berada di dalam kamarnya. Berbaring di atas tempat tidur sambil termenung. Saat yang paling ditakutkannya sejak berpacaran dengan Alma akhirnya tiba. Satu hari lagi ia akan bertemu dengan Sang Jenderal. Dipandanginya kembali layar ponsel yang memperlihatkan tajuk berita:

"Jenderal Bratha Yudistira akan bertolak ke Eropa bersama Presiden Senin mendatang dalam rangka kerjasama militer."

Alma tidak berbohong. Ia akan menemui Ayahnya sebelum berangkat ke luar negeri.  Seketika perutnya menjadi mulas. Haruskah ia meminta pendapat Ibu? Diliriknya jam di ponsel, lalu dipejamkan kedua matanya.  Masih ada waktu satu jam untuk beristirahat sebelum ia menjemput Ibu di kantor.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang