Bab 17 : Gara - Gara Dominik

87 11 0
                                    

Sinar matahari yang menyeruak masuk menembus tirai jendela membangunkan Barra yang tertidur di atas dipan kayu beralaskan kasur tipis di dalam kamarnya. Ia merasa kedua matanya masih ingin terpejam, tapi dinginnya suhu ruangan membuatnya malas untuk beranjak bangun. Sejak semalam ia menggigil kedinginan hingga membuatnya sulit tidur. Padahal ia sudah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.

Barra mengusap wajahnya, mencoba menyadarkan diri. Ia harus memaksa tubuhnya untuk bergerak bangun. Ini bukanlah liburan yang membuatnya bisa bermalas-malasan. Sekarang ia harus waspada setiap saat. Ia harus selalu ingat bahwa ia tengah membawa lari seorang anak jenderal yang murka.

"Ma...!"

Barra mengetuk pintu kamar Alma yang tertutup.

"Maaa..! Bangun yuk!"

Tapi tetap tak ada sahutan. Barra mencoba membuka pintu kamar yang ternyata tak terkunci, tapi Alma tidak ada di sana. Tempat tidurnya pun sudah rapi. Ke mana dia? Barra berjalan ke pintu depan dan membukanya. Udara dingin seketika menyambar tubuhnya, membuatnya dengan cepat menutup pintu kembali. Alma keluar. Ke mana dia? Tiba-tiba hati Barra berdegup kencang. Ia sudah mewanti-wanti Alma dari semalam untuk tidak keluar dari penginapan apa pun alasannya, kecuali bersamanya.

Barra bergegas mengenakan jaket dan kembali membuka pintu. Namun ia tak jadi melangkah saat dilihatnya Alma yang tengah berjalan perlahan dan hati-hati menaiki anak tangga pondok mereka. Ditangannya ada sebuah nampan berisi teko yang mengepul dan sepiring gorengan.

"Kenapa enggak bilang-bilang dulu kalau mau keluar?" Omel Barra. Dibantunya Alma membawa nampan itu masuk ke dalam.

"Kamu tidurnya lama banget, aku udah keburu lapar," sahut Alma dengan wajah cemberut.

"Ini tuh masih pagi banget, Ma. Masih dingin."

Alma tertawa. "Makanya kalau tidur jangan kayak koala. Ini tuh, udah hampir jam sepuluh Barra sayaaang! Dan kita lagi ada di Bromo. Suhunya enggak akan pernah panas sampai kamu tidur lagi nanti malam."

"Ahh!" Barra menghempaskan tubuhnya di atas kursi rotan yang keras. Tiba-tiba ia tersadar. "Gara-gara si Dom! mentang-mentang aku suruh cari penginapan jauhan dikit, nyarinya malah di Bromo. Padahal dia kan, tahu aku enggak tahan dingin," keluhnya seraya menuang teh panas ke dalam gelas dan menggenggamnya dengan kedua tangan.

Alma kembali tertawa. Barra memang tidak berhenti mengomel sejak semalam. Bukan hanya karena mereka harus menghabiskan waktu selama dua jam di dalam taksi, tapi juga karena Dom memesan hotel di Bromo yang sangat dingin. Dan Barra benci dingin.

"Kamu kok, enggak pake masker?" Tanya Barra, menyadari Alma hanya mengenakan hijab tanpa maskernya.

"Aku kan, udah pake hijab."

"Ma, aku kan, udah bilang dari semalam wajah kamu enggak boleh terlihat?"

"Maaf... lupa!" Sungut Alma.

"Habis sarapan kita keluar ya, ke pasar cari baju dingin. Kamu enggak bawa, kan?"

Alma menggeleng seraya menahan senyum. Entah kenapa ia selalu senang melihat Barra memarahinya. Saat ini ia memang super protektif. Ia sangat memperhatikan dirinya hingga hal-hal terkecil.

"Tidur kamu enak?" Tanya Barra lagi. Kini ia sudah meminum tehnya. Membuat mood-nya sedikit lebih baik.

Alma menganguk. Meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman semalaman tidur di atas kasur tipis hingga membuatnya pegal-pegal, tapi ia tidak ingin mengeluh. Ia tidak ingin membuat Barra lebih susah dengan hal-hal yang kecil.

"Maaf ya, kamu enggak bisa tidur di hotel yang bagus lagi."

Alma tersenyum. Mengapa Barra selalu tahu isi hatinya? "Enggak pa-pa.  Kita kan, lagi menyamar? Mia dan Brian?"

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang