Bab 22 : Karena Kamu Worth It

52 7 0
                                    

Dari kursi depan, Barra memandangi punggung Alma yang tertidur pulas di belakang dengan tubuh terbungkus selimut. Ditatapnya beberapa saat, sampai kemudian dialihkan kembali pandangannya ke depan. Ke jalan tol yang mulai gelap. Ditariknya nafas dalam-dalam.

"Kenapa, lu?" Tanya Dominik, melihat wajah Barra yang berubah galau.

"Gua lagi mikir. Dia bela-belain bikin dirinya susah demi gua. Ninggalin hidupnya yang aman dan nyaman. Ninggalin kuliahnya. Orang tuanya. Ketakutan dikejar-kejar Ayahnya sendiri... Gua takut yang dia perjuangin itu enggak worth it."

"Maksud lu, takut nantinya dia kecewa sama lu?" Dominik melirik Barra dengan sudut matanya.

"Ya..." Kini Barra mengalihkan perhatiannya ke jendela di sampingnya. Menghindari pandangan mata sahabatnya itu. Ia merasa malu.

"Ya, kan lu belom tau... Gak ada yang tau juga masa depan orang. Siapa tau lu jadi orang sukses?"

Barra menghembuskan nafas panjangnya. "Yang jelas, masa depan dia kalo enggak sama gua udah keliatan. Dia gak bakalan hidup susah."

"Hidup berkecukupan kalo hati gak bahagia, gak enak lah, Bar. Coba aja lu bayangin jadi dia. Kalo dia ngerasa bakal bahagia sama cowok pilihan bokapnya, ngapain dia bela-belain kabur sama lu. Nentang orang tuanya. Kalo gua jadi dia sih, gua mikir juga kabur dari bokap yang jenderal. Punya kekuasaan di negara ini. Itu gila sih menurut gua. Tapi buat gua, lu lebih gila lagi. Lu mempertaruhkan hidup lu. Bisa aja tuh jenderal lama-lama ilang kesabaran, kelar hidup lu. Saking aja dia tahu anaknya yang ngajak lu kabur duluan."

Barra mencoba tersenyum. "Selama hidup, gak pernah gua perjuangin cewek sampe kayak gini. Lu tau gua kan, kalo ceweknya bikin ribet, ya udah tinggalin aja. Tapi gua liat dia memperjuangkan gua, bikin gua jadi ngerasa berharga banget di mata dia. Padahal gua bukan siapa-siapa. Gue gak punya apa-apa. Selama ini gak pernah ada cewek yang mau bersusah payah berkorban buat gua, selain nyokap. Gua jadi ngerasa gak pantes aja buat dia. Tapi, gua juga takut banget kalo keilangan dia. Karena tambah lama gua tambah sayang, Dom."

Dominik menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Tapi mau sampai kapan lu sama dia kabur kayak gini, Bar?"

"Ini bakal jadi tujuan terakhir, Dom. Gua kan, mesti mikirin kuliah gua sama dia juga. Gua gak mau cuti lama-lama. Gua kepengin cepet-cepet kerja. Bisa mandiri kayak lu. Siapa tahu kalau gua udah bisa mandiri, bokapnya Alma juga berubah."

"Ya, sih. Kalau ini tujuan terakhir lu, dan bokapnya masih gak setuju juga, lu ngelepasin Alma gitu aja?" Kini Dominik memandang Barra dengan serius.

Barra menggeleng. "Sekarang gua gak tahu mesti gimana. Lari terus juga capek. Gua bawa anak orang, anak jenderal. Kalau dia kenapa-napa? Takut gua. Itu sih, yang paling gua pikirin."

Dominik terdiam sejenak. "Tapi mereka kira-kira bakal tau gak ya, sekarang kita lagi otw ke Bali?"

"Lama-lama juga tahu. Tinggal nunggu waktu aja."

"Nah! Itu, Bar yang gua bingung." Dominik memandang Barra kembali dengan kening berkerut. "Mereka gak nahan gua. Dan ngelepasin gua begitu aja. Terus gak ada yang ngikutin lagi. Padahal semestinya mereka udah bisa ngelacak kan, hapenya Alma itu ada di mana? Dan mereka bisa langsung datangin lokasinya sebelum sampai ke Jakarta."

Barra terdiam. "Ya, sih... agak aneh juga sih, ya. Kita udah tujuh jam di jalan. Mestinya ada kabar. Alma dari tadi juga gak ada yang nelepon."

"Perasaan gua gak enak..." Dominik memandang Barra dengan gusar.

"Kecuali..." Kedua mata Barra berputar-putarnya. Kedua alisnya berkerut.

"Kecuali apa, Bar?" Wajah Dominik bertambah gusar.

"Kecuali mereka udah tahu kita mau ke mana. Dan mereka tahu lu mau ke mana..."

Barra dan Dominik tiba-tiba saling berpandangan. Dan sedetik kemudian keduanya pun berteriak berbarengan. "GPS!". Dan mobil pun berhenti seketika di tepi jalan. Keduanya lalu melompat turun dan mulai melakukan pencarian alat pelacak itu dengan menelusuri seluruh bagian dalam mobil.

"Cari apa?" Tanya Alma yang terbangun dari tidurnya dengan terkejut.

"Mereka kayaknya pasang alat GPS di sini," sahut Barra seraya membuka laci-laci dan menyingkap karpet lantai mobil.

Alma ikut mencari di sekelilingnya. Menarik matras di bawahnya. Dan melemparkan bantal-bantal kecil di atasnya. Dan sesaat kemudian ia tertegun lalu menjerit saat mendapati sebuah benda kecil berwarna hitam dengan lampu kecil yang menyala di balik tumpukan bantal. "Ini bukan?" Tanyanya dengan mata membulat. Diulurkannya benda itu pada Barra.

Barra dan Dominik kembali saling berpandangan. Barra menyentuh benda itu. Dipandanginya dengan wajah penuh tanya. "Apa mereka di belakang kita?"

Dominik dengan cepat mengalihkan pandangannya ke belakang mobil. "Gak keliatan. Tapi kalau pun mereka ngikutin, jaraknya pasti jauh. Dari mulai berangkat tadi kan, kita terus ngawasin dari kaca spion. Alma juga ngawasin dari belakang," sahut Dominik seraya masuk ke dalam mobil dan duduk kembali di balik kemudi." Ditunggunya hingga Barra masuk kembali, tapi Barra malah berdiri di tepi jalan dengan tangan kanan yang bersiap untuk melemparkan sesuatu. Dan saat sebuah truk dengan muatan sayuran melintas di hadapannya, dilemparkannya benda pelacak itu tepat di atasnya. Lalu dengan cepat ia pun melompat kembali masuk ke dalam mobil."

"Jalan lebih cepat, Dom! Kita harus secepatnya masuk ke rest area terdekat untuk bersembunyi, sebelum mereka sadar kalau udah ngikutin mobil yang salah."

Dan lima menit kemudian mereka pun masuk ke sebuah tempat peristirahatan. Dominik memarkirkan kendaraannya menjauh dari keramaian. Barra dan Alma mengawasi dari belakang dengan cemas.

"Aman!" Ucap Barra setelah dilihatnya tak ada satu pun kendaraan yang mengikuti mereka setelah sepuluh menit berputar-putar. "Kita tunggu lima belas menit lagi sambil beristirahat."

Dominik mematikan mesin mobilnya. Dihembuskannya nafas dengan lega. "Huh! Nyariiiis!" Teriaknya dengan gembira.

Barra memandang Alma. "Kamu oke?" Tanyanya. Tapi tiba-tiba Alma malah beranjak bangun dari duduknya lalu memeluknya.

"Hei, kenapa?" Barra menarik dagu Alma dan menatap wajahnya.

Kedua mata Alma kini berkaca-kaca. "Kalau nanti kita harus berpisah, aku akan tetap menunggu kamu, Bar. Sampai kapan pun. Aku akan berjuang sendiri. Karena kamu worth it. Kamu pantas aku perjuangkan."

Barra menaikkan kedua alisnya. "Jadi dari tadi kamu tuh, kamu dengerin obrolan kita?" Tanyanya.

Alma mengangguk. Lalu kembali memeluk Barra dan membiarkan air mata membasahi bahunya.

Barra tersenyum. Diusap-usapnya rambut Alma. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya lagi, karena ia sudah tak perlu lagi mengeluarkan kata-kata untuk meyakinkannya, bahwa ia sangat mencintainya.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang