Bab 4 : Alma menghilang

119 12 0
                                    

Barra melirik layar ponselnya entah untuk yang keberapa kali. Dibukanya lagi pesan terakhir yang dikirimkannya ke nomor Alma, tapi tanda centang satunya masih belum berubah. Puluhan pesan teks dan suara yang dikirimkannya sejak Senin pagi pun tak ada yang sampai.
Tak ada kabar apa pun sejak terakhir mereka bertemu di Minggu sore itu hingga saat ini.

Barra menarik nafas panjang. Tidak biasanya Alma seperti ini. Ia tidak pernah tanpa kabar sehari pun. Ia selalu dapat dihubungi kapan saja. Dicobanya kembali untuk menelepon, tapi masih tak ada nada sambung yang terdengar. Apa yang terjadi padanya? Apa Alma sakit? Hatinya semakin gundah. Diliriknya jam di ponsel. Baru pukul setengah enam pagi. Ia bahkan belum tidur karena semalaman memikirkan Alma. Dibukanya tirai jendela. Matahari belum keluar. Terdengar suara peluit teko dari dapur. Ibu sudah bangun. Barra pun keluar dari kamarnya.

"Bu..."

Ibu menoleh terkejut. "Tumben? Ada kuliah pagi?" Tanyanya seraya menuang teh panas yang baru dibuatnya itu ke dalam sebuah cangkir.

Barra ingin menggeleng, tapi ia juga tidak ingin Ibunya curiga. "Ya, jam tujuh," sahutnya. "Sekalian Barra antar ke kantor, Bu?"

"Masih terlalu pagi, Bar. Kantor Ibu kan, baru buka jam delapan," sahut Ibu. Kini ia menuang kembali teh panas ke dalam cangkir lainnya dan diberikannya pada Barra.

"Makasih, Bu!" Barra menyeruput perlahan teh panasnya. Sebenarnya hari ini kuliah paginya baru dimulai pukul sembilan, tapi ia ingin mampir ke rumah Alma terlebih dahulu. Ia takut terjadi sesuatu padanya.

"Ya, kalau kamu mau antar, enggak apa-apa Ibu siap-siap dulu dari sekarang. Tapi kamu sarapan dulu. Ibu sudah masak."

"Masih terlalu pagi untuk sarapan, Bu..."

"Paling enggak makan roti. Ibu enggak mau dengar kamu makan mie ayam lagi!" Tukas Ibunya seraya masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.

Barra buru-buru menyambar selembar roti tawar dan mengoleskan selai kacang di atasnya. Ia tahu, kalau perintah Ibunya tak segera dilakukan, waktunya akan semakin lama terbuang karena harus mendengarkan omelannya lagi. Ia sudah tak sabar untuk mengetahui kabar Alma.

"Yuk!" Ibu sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Ia juga sudah menyandang tas kerja dan menenteng tas bekalnya.

Barra menghabiskan tehnya. Memakai helm dan jaket lalu menyalakan motor. Beberapa menit kemudian ia sudah meluncur di jalan raya yang masih sepi.

Hanya butuh setengah jam perjalanan bagi Barra untuk mengantar Ibunya sampai di kantor. Di sebuah perusahaan ekspedisi. Ibunya sudah bekerja di sana selama dua belas tahun, sejak Barra masih sekolah dasar. Sejak perusahaan itu masih kecil hingga kini mempunyai cabang hampir di seluruh Indonsia.

Dan kini Barra sudah berada di depan rumah besar itu. Ia sedikit lega mengingat Sang Jenderal sedang tidak berada di rumahnya saat ini. Ia sudah berangkat ke luar negeri. Barra memarkirkan motornya agak jauh lalu berjalan menuju pos penjagaan yang terletak tepat di samping pintu gerbang rumah. Seorang pria berseragam hijau tersenyum padanya. Ia mengenalinya.
"Selamat pagi Mas Barra! Ada yang bisa dibantu, Mas?" Tanyanya.

"Pagi, Pak! Maaf, saya memang tidak ada janji, tapi bisa tidak saya bertemu Alma? Ada masalah mendesak yang harus saya bicarakan langsung."

Pria itu terdiam sejenak lalu memandang pria lainnya yang berada di sampingnya. Mereka saling berpandangan, membuat Barra semakin penasaran.

"Hm!" Pria itu berdehem. "Maaf, Mas. Perintah Bapak, Mas Barra dilarang untuk bertemu Mbak Alma lagi."

Barra hampir saja jatuh pingsan mendengarnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. "Maksudnya?" Tanyanya terbata.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang