"Kamu udah kirim video itu ke Mama?" Tanya Barra, seraya memberikan Alma sebuah bungkusan plastik. Alma menjawab dengan sebuah anggukan.
"Boba?" Jerit Alma begitu membukanya. "Dari mana?" Tanyanya dengan wajah sumringah
"Dom tadi habis keluar cari makanan. Buat makan malam kita nanti."
Alma tersenyum. "Baik sekali dia," ucapnya seraya menyeruput minuman bobanya dengan sedotan.
"Kamu Happy sekarang?" Tanya Barra tersenyum.
Alma mengangguk. "Tapi perasaanku enggak enak, Bar." Wajah Alma tiba-tiba berubah.
"Kenapa?" Kini Barra duduk di samping Alma, di lantai paviliun yang terbuat dari kayu.
"Aku tahu, Papa. Dia tidak suka diancam," sahut Alma. Diaduk-aduknya Boba dengan sedotan seolah ingin mengalihkan pikirannya dari hal buruk.
"Menurutmu, apa yang akan dilakukannya?"
Belum sempat Alma menjawab lagi tiba-tiba suara kencang Dominik mengagetkan keduanya.
"Kalian harus cepat-cepat pergi dari sini!" Dominik memandang Barra dan Alma bergantian.
"Mereka tahu?!" Barra langsung bangun dari duduknya.
Dominik mengangguk. Ditunjukannya sebuah pesan di ponselnya.
"Temen gua yang abangnya polisi itu tahu gua bantu kalian. Mereka punya rekaman cctv-nya dari hotel."
Barra dan Alma saling berpandangan.
"Kita harus kemana lagi, Bar?" Alma mulai ketakutan. Perasaannya terbukti benar.
Barra menggeleng. Kini ia menatap Dominik.
"Yang jelas pergi kemana aja, tapi kalian gak bisa naik kereta atau pesawat. Bus juga gak bisa, di sana juga banyak polisi. Foto kalian pasti udah nyebar." Dominik kini tampak berpikir keras. "Kalian beresin barang-barang dulu, gua mikir dulu," sahutnya lagi.
Kini Alma sudah menangis. Barra mengusap bahu Alma.
"Kita beresin barang-barang dulu, ya?" Ucapnya.Dan sesaat kemudian mereka sudah kembali ke teras paviliun.
"Gua antar kalian. Gua tahu kita harus ke mana."
Barra menggeleng. "Gak, Dom! Lu udah ketauan. Gua enggak mau lu terlibat masalah kita."
"Gua udah terlanjur terlibat, Bar. Sekalian aja!"
"Lu yakin?" Barra menatap Dominik dengan sungguh-sungguh.
Dominik mengangguk yakin.
"Terus bengkel gimana?"
"Bengkel ya, tutup dulu. Kapan lagi gua punya kesempatan kayak di The Fast & Furious!" Sahut Dominik dengan kedua tangan memperagakan aksi menyetir ala Dominic Toretto.
Barra memegang kedua bahu temannya itu. "Dom! Ini tuh bukan film. Ini kenyataan. Urusannya sama polisi beneran!" Ditatapnya kembali Dominik dengan sungguh-sungguh.
"Gua bosan hidup biasa-biasa, Bar. Tujuan gua kan, bantu kalian. Dan kalian kan, bukan kriminal." Dominik melepaskan kedua tangan Barra dari bahunya.
Barra terdiam sejenak. Ditatapnya temannya itu kembali. Ia mengerti perasaannya. Sejak pindah dari Jakarta ke Semarang ia memang sering mengeluh bosan. Apalagi sejak ia berhenti kuliah demi menjalankan bengkel mobilnya. "Ok! Tapi cuma satu tujuan. Habis itu lu mesti balik lagi ke rumah. Ntar nyokap bokap lu lapor polisi nuduh gua nyulik lu juga," ucap Barra akhirnya.
Wajah Dominik berubah sumringah.
"Yesss!" Serunya kegirangan sambil berlari masuk ke dalam rumah dan kembali keluar dengan sebuah tas di punggungnya dan sebuah kantong plastik besar di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menculik Anak Jenderal
RomanceOriginal Story yang ditulis dengan alur dan plot tak terduga. Cerita tentang kisah sepasang anak muda yang memperjuangkan cinta demi restu orang tua. Dalam pelarian panjang yang penuh ketegangan dan drama. Diwarnai dengan romantisme, tawa dan air ma...