Bab 7 : Ketahuan

85 10 0
                                    

Barra baru saja menemani Alma berjalan-jalan pagi saat dilihatnya layar ponsel yang menampilkan notifikasi dari tiga panggilan tak terjawab. Ia memang  meninggalkan ponselnya di dalam kamar untuk mengisi daya. Jantungnya berdegup kencang saat dilihatnya panggilan itu berasal dari nomor Ibu.  Dengan cepat diputarnya kembali nomor itu.

"Ada apa, Bu?" Tanyanya panik saat didengarnya sahutan dari Ibu.

"Barra, Ibu baru saja dapat laporan dari Pak Adi, tetangga sebelah kita. Katanya kemarin sore ada seseorang yang mengamati rumah kita."

"Siapa orangnya, Bu?" Barra semakin panik.

"Tidak tahu. Saat ditegur Pak Adi, dia hanya bilang sedang cari alamat lalu pergi lagi."

"Lalu? Ibu di mana sekarang?"

"Ibu di rumah. Tapi nanti sore Ibu mau menginap saja di rumah Tante Nurul beberapa hari. Kantor Ibu dari rumah tantemu itu juga kan, lebih dekat."

"Lebih baik Ibu cuti dulu. Barra takut Ibu diikuti juga di kantor." Suara Barra terdengar cemas.

Ibu tertawa kecil. "Kalau di kantor Ibu malah enggak takut. Di sana kan, banyak orang. Ada sekuriti juga. Kamu kan, tahu Ibu enggak bisa ambil  cuti dadakan?"

"Barra takut Ibu kenapa-napa."

"Ibu bisa jaga diri. Kalau Ibu melihat orang itu mengikuti, Ibu akan teriak. Ibu yang justru mengkhawatirkan kamu. Apa kalian ada yang mengikuti juga?"  Ada sedikit kecemasan dalam suara Ibu.

"Enggak Bu," sahut Barra tak yakin. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi pada Alma. Terdengar tarikan nafas panjang Ibu setelah Barra selesai bercerita.

"Kalian tunggu saja perkembangannya dalam satu dua hari ini. Kalau memang keputusan Papanya masih sama, kita akan pikirkan lagi langkah selanjutnya. Kamu harus selalu hubungi Ibu, ya? Ibu mau berangkat ke kantor dulu." Terdengar suara Ibu berteriak meminta ojek untuk menunggunya sebentar. Sesaat kemudian panggilan telepon pun dimatikan.

"Dari Ibu?" Suara Alma mengagetkan Barra. Ternyata ia sudah berada di belakangnya sejak tadi.

Barra mengangguk. "Kamu mendengar semuanya?" Tanyanya melihat wajah Alma berubah pucat.

"Aku harus bagaimana, Bar? Aku sudah membuat Ibumu ketakutan."

Barra tersenyum. "Ibu enggak takut. Ibu cuma kasih tahu aja kalau mulai nanti malam dia akan menginap di rumah adiknya."

"Aku akan telepon Mama."

"Untuk apa?" Barra menarik tangan Alma yang akan melangkahkan kakinya.

"Untuk kasih tahu supaya jangan mengganggu Ibumu?"

Barra menggeleng. "Orang itu enggak mengganggu. Belum tentu juga itu suruhan Papamu. Kata Ibu kita lihat perkembangannya dalam satu dua hari ini."

"Barra! Ajak istrimu sarapan dulu!" Teriakan Kakek mengagetkan Barra dan Alma. Keduanya lalu beranjak keluar kamar.

Sigit sudah menyiapkan seteko teh tubruk dan kopi panas di teras depan. Lengkap dengan sepiring getuk manis dan pisang goreng.

Dengan wajah berseri Kakek langsung meminta Alma untuk duduk di sampingnya.

"Kakek sudah sarapan?" Tanya Alma melihat cangkir teh Kakek yang sudah kosong.

Kakek mengangguk.

"Kakek 'ndak tidur lagi sejak subuh tadi. Dia mencari pencuri burung katanya," sahut Sigit.

"Loh, cari ke mana?" Tanya Barra seraya menuang teh ke dalam dua buah cangkir untuk dirinya dan Alma.

"Pencurinya datang lagi sejak semalam. Pakai baju hitam-hitam." Wajah Kakek terlihat sangat serius.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang