Bab 25 : Kamu Masih Worth It

57 8 0
                                    

"Riiin!"

Erina menoleh. Tampak Barra berlari ke arahnya, lalu menariknya masuk ke dalam sebuah kios minuman dingin.

"Gimana?" Tanya Barra seraya menarik sebuah kursi dan mendudukan Erina di hadapannya.

"Gimana apanya?" Tanya Erina sambil membetulkan lipatan lengan bajunya yang rusak ditarik Barra.

"Surat gue, lo udah kasih Alma, kan?" Tanya Barra lagi tak sabar.

"Udah!"

"Terus? Mana balasannya?"

Erina melototot. "Astaga! Baru juga dua hari, Bar?!" Tukasnya.

"Ahh. Kok, lama?" Barra menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dengan wajah cemberut.

"Ya, sabarlah! Dia nunggu inspirasi kali buat balasnya."

"Terus kiriman Boba gue, diterima kan, sama dia?" Tanya Barra lagi.

Erina menarik nafasnya. "Udah... Pangeran Barra... Tuan Putri sudah meminumnya."

Barra tersenyum senang. Ia lalu berjalan ke arah konter dan memesan tiga buah minuman dingin.

"Dia udah enggak pernah ke kantin lagi?" Bisik Barra sembari duduk kembali dan menggeser kursinya lebih dekat pada Erina. 

Erina menggeleng. "Pengawalnya sekarang yang selalu beliin dia makanan. Kadang dia bawa bekal dari rumah. Kadang juga pesan online."

"Terus, dia kapan lagi giliran jaga di klinik?"

Kini Erina menarik nafasnya dalam-dalam. "Bar, udah deh, gak usah coba-coba lagi nemuin dia. Gak bakal bisa! Lama-lama pengawalnya lapor bokapnya, terus lo dikeluarin dari kampus dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum!"

"Ya, kali..." Sungut Barra sambil berjalan kembali ke konter dan mengambil pesanannya. "Nih, gua kasih kopi. Bobanya titip lagi buat Alma," ujarnya seraya meletakan kantong plastik berisi minuman itu pada Erina.

"Sekali-kali lo titipin bunga buat Alma. Boba mulu..."

"Ya kan, Alma sukanya emang Boba?"

Erina menggeleng-gelengkankan kepalanya. "Nih, jadi comblang cuma dikasih kopi?" Sungutnya seraya memasukan sedotan di atas kopi dinginnya lalu menyesapnya.

"Nanti gue kasih jabatan kalo gue udah sukses," sahut Barra yang disambut Erina dengan gelak tawa. 

"Emangnya lo nulis apaan sih, di surat? Penting?"

"Mau tau aja!"

Erina menghebuskan nafas panjang. Ditatapnya wajah Barra. "Kenapa sih, lo gak nyerah aja? Demi kebaikan bersama. Kasian gue liat Alma tertekan," ujarnya.

"Lah, justru gue lagi memperjuangkan dia. Kalo gue tinggalin, dia lebih tertekan."

"Paling enggak kalau kalian putus, kalian bisa cepet move on. Kalo ini kan, statusnya enggak jelas. Masa depan lo sama dia enggak jelas. Gue enggak yakin bokapnya bakal merestui kalian sampai kapan pun juga. Impian bokapnya Alma tuh, punya menantu tentara. Biar ada yang nerusin jejaknya."

Kini Barra terdiam. Diaduk-aduknya kopinya dengan sedotan. Sesaat pikirannya menerawang. Lalu ditatapnya Erina dengan sungguh-sungguh.  "Tolong bilang Alma, Rin... Kalo gue memang masih Worth It buat dia, gue akan terus berjuang. Tapi kalau enggak, gue akan mundur. Gue akan terima semua keputusan dia. Gue rela ngelepas dia, kalau memang dia udah menyerah."

"Bentar-bentar... gue rekam aja deh, gue takut salah ngomong." Erina mengeluarkan ponselnya. Dinyalakannya video untuk merekam Barra. Dan saat Barra selesai mengulangi perkataannya, mata Erina berkaca-kaca.

"Kok, lo yang nangis?" Tanya Barra bingung.

"Gue berasa kayak lo lagi ngomong sama gue. Gue jadi baper." Erina mengusap air matanya dengan tisu.

Barra tertawa kencang, meski dalam hatinya, ia pun menangis. Ia sangat merindukan Alma. Tak pernah ia merasakan hatinya seperti ini. Hari-harinya jadi terasa aneh. Seperti ada yang hilang. Tidurnya tak pernah senyenyak dulu lagi.  Kuliah pun tak semangat seperti dulu lagi. Tanpa Alma semua terasa berbeda.

"Gue balik kampus dulu, ya? Ntar gue sampein semua sama Alma." Erina menghabiskan sisa kopinya.

Barra hanya mengangguk. Memandangi punggung Erina yang keluar dari kios sambil menenteng Boba.  Dan ia pun kembali termenung.

...

Barra buru-buru masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya. Dihempaskannya tubuhnya di atas kasur. Lalu mulai membuka amplop putih yang baru saja diterimanya dari Erina di kampus tadi pagi. Setelah tiga hari menunggu, akhirnya Alma membalasnya. Ia memang sengaja ingin membukanya di rumah. Karena ia takut isi surat itu akan melemahkannya, dan membuatnya menangis. Ia tidak ingin terlihat menangis di hadapan teman-temannya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Dengan hati berdebar Barra membuka surat itu dan membacanya.

"Kamu masih Worth It. Aku akan membuktikannya."

Barra menatap surat itu lama. Mencoba mengerti makna yang tersirat dalam kalimat yang terulis di kertas putih itu. Kenapa Alma harus pakai kata-kata yang sulit ia mengerti? Batinnya. Apa maksudnya akan membuktikannya? Apakah ia akan melawan Ayahnya kembali? Kening Barra berkerut. Kedua matanya berputar-putar. Sesaat kemudian matanya terpaku pada kotak putih itu. Seakan tersadar, ia pun membuka ponselnya, lalu menekan nomor Erina. Sesaat kemudian terdengar sahutan di ujung telepon.

"Rin... Alma kuliah gak, tadi?" Tanyanya dengan hati berdebar.

"Enggak..."

"Lo tau alasan dia enggak masuk hari ini?"

"Hmm. Enggak tau. Gak ada kabar. Mestinya hari ini juga dia giliran jaga klinik. Tapi sampe sore gini belum ada kabar."

Jantung Barra berdegup kencang. "Coba, Rin, lo cari tahu ke pengawalnya."

"Emang ada apa sih?" Suara Erina terdengar curiga.

"Lu cari informasi dulu aja kabar dia. Gue tunggu secepatnya, ya!"

Belum sempat Erina menjawab kembali, Barra sudah menutup ponselnya. Kedua tangannya meremas rambutnya. Nafasnya tiba-tiba saja tersengal. Ia tidak ingin menduganya. Tapi seandainya itu terjadi, ke mana ia harus mencarinya. Mengapa Alma tak memberi tahunya saja?

Sebuah pesan masuk ke ponselnya mengagetkan Barra. Dibacanya sebuah pesan dari Erina. "Katanya dia baik-baik aja."

Seketika Barra menghembuskan nafasnya. Diusapnya wajahnya. Kini ia bisa bernafas lega. Ia takut sekali Alma pergi tanpa memberi tahunya.

Barra kembali membaca surat itu. Dan kembali termenung. Dengan cara apa Alma ingin membuktikannya? Ah! semoga Alma tidak berbuat sesuatu yang membuat Sang Jenderal marah lagi. Ia sudah membatalkan lamaran tentara itu. Untuk sementara Alma bisa tenang di rumahnya sambil menyelesaikan kuliah. Dan memikirkan lagi rencana mereka. Semoga saja Alma tak nekat untuk pergi sendirian. Kalau pun ia pergi sendiri, Alma pasti akan memberi tahunya, agar ia bisa menyusulnya. Barra kembali memandang kotak putih itu. Semoga ia tidak perlu menggunakannya, batinnya penuh harap.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang