Bab 11 : Ancaman

80 9 0
                                    

"Kita sarapan dulu!" Teriak Dominik pada Barra yang tengah duduk di dalam sebuah gazebo bambu di halaman rumahnya.

Barra tertawa melihat temannya itu kepayahan membawa sebuah nampan besar berisi makanan dan seteko teh tubruk panas. Dibantunya Dominik meletakan nampan itu di atas meja. "Orang tua lu masih ngurusin toko oleh-oleh?" Tanyanya saat melihat sepiring wingko babat dan tahu goreng yang masih hangat.

Dominik mengangguk. "Sekarang tokonya tambah gede. Lumayan bisa buat biayain Angga kuliah di Yogya."

"Ade lu itu?"

Dominik kembali mengangguk. "Ya, gue juga dikit-dikit bantuin bayarin kost-nya," ucapnya lagi seraya menuang teh panas ke dalam tiga buah gelas bergagang. "Alma ke mana?" Tanyanya.

"Beresin paviliun. Mana betah dia tidur di tempat berantakan gitu," sahut Barra.

Dominik tertawa. "Maklum, bujangan. Lu ngasih taunya dadakan, gua gak sempat nyuruh orang beresin. Nyokap bokap kan, sekarang jarang pulang ke rumah. Nginap di toko. Pulangnya seminggu sekali.

Barra menaikkan alisnya. "Kenapa?"

Dominik menyeruput teh panasnya. "Lu liat aja sendiri. Bengkel gua kan, sekarang tambah gede. Tambah rame, kadang teman-teman gua pada nongkrong juga di sini sampe malam. Nyokap gak betah. Berisik katanya."

Barra tertawa. Dipandanginya bangunan garasi yang dulunya adalah tempat pencucian mobil itu kini sudah berubah menjadi bengkel. Sebuah hidrolik besar juga tampak di tengah-tengah halaman rumah. Dan tulisan besar "Bengkel The Fast & Furious" tampak terpampang dengan mencoloknya di pagar depan rumah.

"Hebat lu, Dom udah bisa mandiri. Bisa bantuin orang tua." Ada nada bangga sekaligus iri dalam suara Barra.

"Ya gua kan, bukan lu yang punya otak pinter, tampang ganteng, bisa dapetin anak jenderal," sahut Dominik setengah mengeluh.

Barra tertawa. "Sialan lu. Liat aja nasib gua sekarang." Barra meneguk tehnya.

"Lu beneran serius sama dia?" Tanya Dominik dengan wajah serius.

"Gua udah jadi DPO gini masih lu anggap enggak serius juga."

Dominik terdiam. "Lu suka sama dia karena apanya? Karena dia anak jenderal atau karena dia calon dokter?"

Barra menatap temannya itu dengan mulut terbuka. "Pertanyaan lu kayak bokapnya Alma?" Sahutnya.

"Ya... realistis aja, Bar. Gua kan, tau lu. Lu gak pernah serius sama cewek. Dan sorry to say, tapi yang gua liat selama ini di sosmed lu tuh cewek-cewek lu biasanya kan, tampang-tampang selebgram semua."

Barra tertawa "Cewek-cewek ribet itu?" Tanyanya.

"Emang Alma gak ribet?" Tanya Dominik lagi penasaran.

Barra menggeleng. "Alma tuh simpel. Gak ribet. Gak manja. Gak banyak ngatur. Pintar lagi. Dia enggak pernah nuntut yang aneh-aneh ke gue. Dia mau menerima gua apa adanya. Sama dia gua bisa jadi diri sendiri."

Dominik mengangguk-angguk. "Emang enak kalo jadi orang ganteng, separo hidup lu beres tanpa perlu ngapa-ngapain," ujarnya sambil memasukan sebuah tahu goreng ke dalam mulutnya.

Barra tergelak. "Lebih enak jadi orang banyak duit, seluruh hidup lu langsung beres tanpa masalah," sahutnya sambil melambaikan tangan pada Alma yang memandanginya dari teras paviliun. "Sarapan dulu!" Teriak Barra.

Sesaat kemudian Alma menghampiri Barra dengan wajah bingung.

"Kenapa?" Tanya Barra.

Tapi Alma tak segera menjawab. Diliriknya Dominik sesaat.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang