Dua puluh enam

846 118 4
                                    

Kembali beraktivitas seperti biasa. Yuta dan Winwin kini sudah berada di ruangan Yuta.

Satu jam berlalu sejak mereka tiba di kantor. Dan selama itu tidak ada yang membuka suara sama sekali. Winwin yang tenggelam dalam pikirannya, sedangkan Yuta sibuk dengan tumpukan kertas serta layar monitor di hadapannya. Hingga satu helaan napas panjang keluar dari mulut Winwin memecah keheningan.

Yuta mengalihkan pandangannya, menatap sang sekretaris yang duduk di sofa. Sejak pagi tadi, sekretarisnya itu banyak melamun. Ketika ditanya kenapa, Winwin hanya menjawab dengan gelengan.

Bingung Yuta harus ngapain.

Winwin pasti masih memikirkan ucapannya semalam, pikir Yuta.

Suara pintu diketuk memecah keheningan. Seorang pria berpakaian santai masuk setelah diijinkan oleh si pemilik ruangan. Ia mendudukan dirinya di sebelah Winwin. Merangkul pundak Winwin dan menyandarkan kepala si manis di bahunya.

"Nggak mau ngomong dari pagi, makan juga harus dipaksa. Gue takut dia sakit lagi," ujar Yuta.

"Udah biasa. Semenjak lo pergi, kalau lagi ada yang mengganggu pikirannya pasti kayak gini," sahut Kun, pria yang masuk tadi, "Tadi udah lo coba ajak ngomong?" tanya Kun.

Yuta mengangguk.

"Mau keluar nggak?" tanya Kun ke Winwin, "Kita beli es krim," lanjutnya.

Winwin balas dengan anggukan lemah. Ia menoleh ke arah Yuta, "Kak," panggilnya.

Seolah mengerti, Yuta segera merapikan kertas yang berserakan di mejanya dan mematikan layar monitor. Setelahnya ia beranjak dan berjalan mendekati Winwin. Tangannya ia ulurkan meraih tangan sang sekretaris untuk digenggamnya.

Dengan senang hati Winwin menerima uluran tangan itu. Winwin berdiri. Tangan yang ia genggam kini berpindah melingkar di pinggangnya.

Berjalan bersamaan dengan Kun yang mengikuti dari belakang. Matanya awas melihat ke segala arah, takut-takut nanti ada pegawai lain yang melihat kedekatan Winwin dengan atasannya. Takut ada omongan yang tidak-tidak mengenai adik sepupunya.

"Kun, deketan sini anjir!" panggil Yuta.

Kun terkekeh lalu mendekat ke arah mereka.

"Emang kenapa sih? Nggak ada orang lain juga yang liat," ujar Kun saat sudah berjalan sejajar dengan keduanya.

"Orang nggak liat, tapi itu CCTV bisa," jelas Yuta.

Tangan Yuta sudah terlepas dari Winwin sejak keluar dari ruangannya. Dia juga awas dengan semua. Takut nanti Winwin yang jadi korban jika dirinya tidak melepas rangkulannya. Mengingat orang-orang yang bekerja di sini memiliki mulut seperti ibu-ibu komplek, baik perempuan maupun laki-laki, semua sama.

Tidak tau saja Yuta jika beberapa dari pegawainya mendukungnya untuk menjalin hubungan dengan Winwin. Mina dan Yeji salah satunya. Bahkan mereka membuat taruhan.

Langkah mereka terhenti di depan lift. Terlihat lift itu sedang menuju ke lantai tempat mereka berada.

Yuta tau siapa yang berada di dalam lift itu. Kalau bukan teman-temannya, pasti itu Mina sebab yang diperbolehkan untuk ke lantai ini hanya orang-orang tertentu.

Pintu lift terbuka, menampilkan sosok Mina dengan beberapa map di tangannya.

"AYAM! Astaga Yuta!" Mina sedikit berteriak melihat eksistensi ketiganya yang tepat di depan lift. Map yang ia pegang hampir terjatuh karena terkejut.

"Apa?" tanya Yuta dengan santai.

Mina menyerahkan map yang dia bawa, "Nih tanda tangan, biar nanti bisa gue kasi ke Lucas," sahutnya.

"Taruh dulu, gue mau pergi sama mereka sekalian jemput anak-anak."

Mina berdecih, teman sekaligus atasannya ini terlalu santai. Ia yakin berkas yang ia berikan tadi pagi belum selesai diperiksa.

"Sabar Mina sabar, lo kayak nggak tau Yuta aja," ujar Kun, selaku teman keduanya.

Mina pergi ke ruangan Yuta sambil memaki keduanya. Dua-duanya sama saja, sama-sama membuatnya kesal.

---

Es krim sudah, kue kesukaannya juga sudah. Tapi Winwin masih diam. Yuta bingung, Kun juga. Biasanya jika Winwin seperti ini Kun hanya perlu membelikannya satu cup es krim dan kue kesukaan Winwin, namun sepertinya untuk sekarang itu tidak berefek untuk Winwin.

Mereka sedang berada di pos satpam saat ini. Yuta, bukannya menyelesaikan pekerjaannya malah mengajak keduanya untuk duduk santai di pos satpam. Katanya sih, menunggu anak-anaknya datang.

Lucas yang menjemput si kembar. Tadi mereka berpapasan dengan mobil Lucas saat kembali ke kantor.

Yuta mendengar dering ponsel dari sebelahnya. Ia menoleh, melihat Winwin yang memperhatikan ponselnya tanpa mau menjawab panggilan tersebut. Di layar itu tertera nama Mama Winwin.

Enggan Winwin menjawab. Mamanya itu pasti akan memintanya untuk kembali ke rumah seperti semalam.

"Kenapa dibiarin?" tanya Yuta.

"Males. Nanti disuruh pulang, terus pasti disuruh resign karena tau aku kerja sebagai sekretaris kakak. Mama kenapa sih? Se-nggak suka itu ya sama kakak? Kakak pernah buat salah sama mama? Sampai-sampai waktu kakak pergi, semua yang berhubungan sama kakak dibuang bahkan ingatan Winwin juga," suaranya ia tahan agar tidak berubah menjadi teriakan.

Ia ingat, hanya sedikit. Semoga secepatnya Winwin bisa mengingat semuanya.

Kedua pria yang sedang duduk di sampingnya terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Winwin.

Kun merangkul pundak Winwin agar sepupunya itu bisa tenang. Melontarkan kata-kata penenang agar Winwin bisa meredam kekesalannya. Sementara Yuta, ia hanya bisa menggenggam serta mengelus punggung tangan Winwin.

"Bukannya mama kamu nggak suka kakak, mama kamu cuma nggak suka sama hubungan kita. Mungkin kamu nggak inget, dulu waktu kamu bilang kalau kita menjalin hubungan, perlakuan mama kamu berubah setiap kakak berkunjung ke rumah kamu. Kamu mau tau nggak kenapa mama kamu nggak setuju sama hubungan kita? Karena dulu kakak cuma anak pedagang roti sebelum kakak tau kalau ayah kakak punya perusahaan sebesar ini," jelas Yuta.

Beruntung di pos satpam hanya ada mereka bertiga, jadi tidak ada yang mendengar percakapan yang bersifat pribadi ini. Harusnya ini dibicarakan di tempat tertutup.

"Ini juga alasan kakak pindah dan ninggalin kamu di sana. Kakak mau nemuin kamu lagi saat kakak udah punya segalanya. Tapi takdir kayaknya punya rencana lain," lanjutnya.

Winwin menunduk mendengar penjelasan Yuta. Meremat tangan yang sedang menggenggam tangannya. Siapa yang sangka kalau mamanya tidak pernah menyetujui hubungan keduanya. Seingatnya, mamanya selalu berlaku baik ketika Yuta berkunjung ke rumahnya dulu.

Setetes air mata jatuh mengenai tangan Yuta. Si pemilik tangan menarik tangannya yang menggenggam tangan Winwin, beralih mengangkat dagu sang sekretaris. Mengusap air mata yang mengalir di pipi tembam Winwin.

Mata Winwin memejam menikmati usapan lembut itu. Ia berpikir, kapan terakhir kali dia diperlakukan seperti ini oleh Yuta? Bagaimana ia bisa mengetahuinya sementara ingatannya masih belum kembali.

"Jangan nangis, kalau anak-anak liat nanti mereka ikutan nangis," ucap Yuta. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Kun, "Kun, yang kemarin gue minta udah beres kan?" tanyanya.

Kun mengangguk, "Beres, tadi gue taruh di atas meja," sahut Kun.

"Thanks."

---

kacau. pov orang ketiganya ke sana ke mari.

dah lah. kapan-kapan gue benerin kalau ada waktu luang (sok sibuk). byeeeeeeeeeee

nge-votenya pelan-pelan aja ye, jan ngebut!!!!!!

Daddy's SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang