JAKARTA, TAHUN 2002
Lukisan langit sore di belahan kota Jakarta terlihat begitu menawan dengan perpaduan warna antara putih dan jingga yang menghiasi hamparan luas cakrawala berwarna biru.
Akan tetapi, keindahan dari cakrawala itu justru bertolak belakang dengan keadaan yang saat ini terjadi di pinggiran Kota Jakarta.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun, nampak tidak berdaya akibat pukulan yang dilakukan secara bertubi-tubi oleh lima anak laki-laki yang usia mereka jauh di atasnya. Pakaian yang dikenakan oleh anak laki-laki malang itu juga sudah bercampur dengan bercak darah yang keluar dari mulutnya, serta beberapa luka lebam pada wajah tirusnya.
Anak itu sama sekali tidak melakukan perlawanan, ia hanya pasrah karena ketidakmampuannya dalam berkelahi dan melawan mereka.
Aksi kelimanya secara tiba-tiba terhenti saat terdengar suara teriakan lantang dari seorang gadis kecil yang kini sedang berlari ke arah mereka. Melalui tangan mungilnya, gadis tersebut mendorong tubuh salah seorang dari mereka. Awalnya, perlawanan dari gadis itu dianggap remeh oleh kelimanya sampai akhirnya gadis itu melancarkan aksi kuda-kuda yang sudah ia pelajari saat berlatih bela diri.
Lima pukulan berhasil dilayangkan oleh gadis kecil itu dan mengenai perut mereka masing-masing. Setelah kelimanya terjatuh menyentuh aspal dan terlihat meringis sembari memegangi perut masing-masing, gadis cantik berambut panjang itu segera menunjukan dan mengarahkan jempol terbalik seolah tengah meledek kelimanya.
"Makanya, kalian jangan beraninya sama yang lemah doang. Ditendang gitu langsung jatoh. Cemen." ledeknya sembari mengibaskan rambutnya ke belakang dan menampilkan tawa lebar yang mengejek.
Merasa dipermalukan oleh seorang anak kecil perempuan, mereka berlima pun memutuskan untuk pergi begitu saja meninggalkan anak lelaki yang tadi mereka hajar.
Setelah kepergian kelimanya, gadis kecil itu lalu berjongkok dan membantu anak laki-laki malang itu untuk bangun dan duduk
"Kenapa kamu tidak melawan mereka?" tanya gadis mungil itu.
"Aku tidak bisa berantem, aku takut," ucapnya lirih dengan wajah tertunduk karena merasa malu.
"Kalau begitu, kamu harus belajar berantem biar ga takut lagi dan kamu bisa melawan mereka yang jahat sama kamu." Ucapan gadis itu terdengar sangat bijak.
Anak laki-laki yang masih tertunduk, hanya mengangguk pasrah tanpa berniat untuk menatap wajah si gadis penolongnya.
Tiba-tiba gadis kecil itu menjulurkan tangan dan mengajaknya berkenalan.
"Aku Almira Rubi Dewantoro, kalau nama kamu siapa?"
Anak laki-laki itu nampak ragu untuk membalas tangan dari Almira, karena ia melihat kondisi tangannya sendiri yang sangat kotor. "Jangan malu, aku ga masalah kalau tangan kamu kotor," ujar Almira seolah paham dengan apa yang dipikirkan oleh lawan bicaranya.
Akhirnya, anak laki-laki itu pun mengangkat tangannya dan menjawab, "Aku Vee."
Almira mengangguk paham lalu mengembangkan sebuah senyum gummy ke arah Vee. "Semoga kita bisa ketemu lagi, Vee," ucapnya manis.
"Bagaimana caranya aku bisa kenal kamu kalau kita ketemunya sudah besar nanti?"
Almira nampak berpikir dengan meletakkan ujung jarinya ke arah dagu sembari merotasikan matanya ke atas.
"Aaahh ... kamu inget sama nama belakangku aja, 'Dewantoro'."
"Kenapa namamu ada Dewantoronya?" tanya Vee.
"Ya karena Dewantoro itu nama ayahku." Almira menjawab dengan yakin.
Baru saja Almira mau bertanya nama panjang Vee, tapi seseorang dari dalam mobil sedan hitam sudah memanggil namanya dan menyuruhnya untuk lekas pulang.
"Maaf ya Vee, aku harus pergi. Jangan lupa namaku Almira Rubi Dewantoro."
"Kenapa Dewantoro?"
"Ya karena itu nama ayahku, aahh udahlah ... aku harus pulang," jawab Almira sembari mengentakkan kedua kakinya kesal.
Sebuah senyum kotak terbentuk dari wajah Vee saat melihat Almira berlari menuju mobilnya dan sesekali menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat keadaan Vee.
Setelah kepergian Almira, Vee berusaha untuk berdiri dan berjalan meskipun dengan langkah yang tertatih, namun hanya berjarak beberapa meter saja, tubuh Vee sudah ambruk dan terjatuh di sisi jalan sampai akhirnya seorang pria dewasa menemukan dirinya yang sudah tak sadarkan diri.
Pria itu bernama Narenda Adhyaksa, ia bukan hanya menolong Vee tapi juga merawat Vee beserta kelima anak laki-laki lain yang ia didik dan besarkan dengan segala macam ilmu bela diri serta persenjataan tajam lainnya.
Semua pembelajaran itu sudah Vee dan kelima anak yang lain terima, sehingga mereka semua memiliki kemampuan untuk melindungi diri mereka sendiri.
***
JUDUL AWAL : ROMANSA PEMBUNUH BAYANGAN
BARU AWAL YA GUUYYSSS.... BACA TERUS SETIAP BABNYA KALO MAU BERMAIN TEKA-TEKI...
-> Jangan lupa buat selalu tinggalin Vote dan Komentar yaa Guuyyss
-> Follow author juga
Cek Akun Tiktok Author @egatukiyemajah
cr.picture : PINTEREST
KAMU SEDANG MEMBACA
VEE : THE ASSASSIN (END)
Romansa"Kalau aku tidak bisa memilikimu di dunia nyataku, dapatkah aku memilikimu di dunia mimpiku?" "Kenapa harus kamu anak dari pembunuh ayahku." "Apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengan anak dari pembunuh ayahmu sendiri?" Mata itu menatap...