"Kak, Vee." Lenguhan pelan suara Chaca memanggil Vee yang tertidur di atas sofa.
"Kak,Vee." Ulang Chaca tapi rupanya Vee tertidur sangat pulas sehingga suara panggilan dari Chaca sama sekali tidak terdengar olehnya.
Merasa sudah sangat haus dan Vee juga lupa membawakannya minuman, akhirnya Chaca memilih untuk turun dari atas kasur dengan hati-hati. Ia tidak lagi menaiki kursi rodanya, karena ia ingin membiasakan berjalan biarpun masih terasa nyeri pada bagian telapak kakinya.
Chaca keluar dari kamar Vee dengan langkah yang tertatih-tatih. Berkali ia juga meringis karena menahan sakit. Chaca terus berjalan pelan sampai menuruni anak tangga terakhir, lalu dia menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari di mana letak dapurnya.
Akan tetapi, tiba-tiba sebuah tepukan mendarat pada pundak kecilnya, Chaca menoleh dan ...
"Halo Anak Manis," sapa seseorang yang kehadirannya mengagetkan Chaca dan membuat tubuh anak kecil itu sedikit terjengkat ke belakang.
"Ternyata takdir itu baik sekali ya, kamu kabur dari saya dan ... lihatlah! Justru kamu sendiri yang mendatangi tempat saya." Orang itu berkata dengan nada mengejek dan diiringi suara tawa terkekeh.
"To ... long, jangan bu ... nuh Chaca, jangan bu ... nuh temen-temen Chaca dan Ibu ...."
Pria itu menepuk-nepuk kepala Chaca lalu wajahnya menerbitkan sebuah seringai tajam bak iblis. "Saya tidak akan membunuh kamu kalau kamu tidak kabur seperti kemarin. Harusnya kamu sudah hidup tenang dan aman bersama dengan teman-temanmu yang lain dan dengan ibu pantimu itu.
"Sekarang, kamu ikut saya atau kamu akan melihat sendiri bagaimana semua teman-teman kecilmu bersama dengan ibu panti kesayanganmu, mati meregang nyawa."
Chaca menggeleng ketakutan dan tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang di balik tembok lantai atas yang sedang menyaksikan dan mendengar semua semua percakapan Chaca bersama dengan pria itu. Mata orang yang bersembunyi itu sudah terlihat seperti api menyala dan penuh dengan kilatan tajam, kedua rahangnya mengeras dan kedua tangannya kini terkepal sangat kuat sampai buku-buku jarinya terlihat memutih.
"Sial ... ternyata memang lo pengkhianatnya!"
***
Matahari sudah memancarkan sinar putih. Di tambah warna kebiruan dari hamparan langit yang membentang luas. Perpaduan kedua warna yang menjadi kombinasi sempurna untuk menghias lukisan cakrawala di pagi ini. Pagi yang sempurna dan Almira sudah berada di markas Danger.
Ia sengaja mendatangi markas Vee karena ingin menemani Chaca hari ini. Almira berinisiatif sendiri, karena jika Vee ke sekolah lalu siapa yang menemani Chaca di sini.
"Kamu bener ga apa-apa kalau aku tinggal sekolah?" tanya Vee sedikit khawatir tapi Almira justru mengangguk dengan percaya diri.
"Ga apa-apa, lagian cuma sampai siang doang. Nanti pas hari libur, kamu bisa cari orang untuk jagain Chaca di sini."
Vee mengangguk pasrah, berdebat dengan Almira saat ini pun hanya akan membuang waktunya sia-sia.
Akhirnya Vee dan anggota Danger yang lain berangkat ke sekolah mereka masing-masing dan saat ini hanya ada Almira berdua dengan Chaca di markas Danger . Akan tetapi, Chaca masih berada di dalam kamar karena sejak pagi, tubuhnya panas dan terus mengeluarkan keringat dingin. Chaca juga sesekali terdengar meracau mengucapkan kata-kata memohon untuk tidak dibunuh, entah di tujukan kepada siapa.
Setelah kepergian Vee dan semua sahabatnya, Almira memiliki ide membuatkan bubur untuk sarapan Chaca. Saat dirinya tengah sibuk bergelut di dapur, tiba-tiba dari arah pintu depan terdengar suara bel yang cukup mengganggu kesibukannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/340877878-288-k676245.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
VEE : THE ASSASSIN (END)
Romance"Kalau aku tidak bisa memilikimu di dunia nyataku, dapatkah aku memilikimu di dunia mimpiku?" "Kenapa harus kamu anak dari pembunuh ayahku." "Apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengan anak dari pembunuh ayahmu sendiri?" Mata itu menatap...