"Apakah aku salah jika aku iri kepada kalian yang memiliki rumah penuh kehangatan?"
(Almira Rubi)
KEDIAMAN DEWANTOROKesan mewah dan classic tercipta dari sebuah rumah yang berdiri kokoh di antara bangunan rumah megah lain yang berada di sekitarnya.
Banyak yang beranggapan jika rumah tersebut dihuni oleh keluarga yang harmonis dan bahagia. Sayangnya, itu semua hanya sebuah persepsi kosong belaka yang di ambil dari sudut pandang orang lain.
Kenyataannya, seorang gadis remaja terlihat menundukkan wajahnya di hadapan seorang pria paruh baya yang merupakan ayahnya sendiri. Gadis remaja itu adalah Almira Rubi.
Wajah dari ayahnya sudah terlihat sangat berapi-api, matanya dipenuhi oleh kilatan tajam yang siap menusuk siapa pun.
Tangannya terayun mengarah pada wajah Almira lalu terdengar suara tamparan keras mengenai pipi Almira yang hanya mampu tertunduk sambil menahan pecahan air mata yang mulai berlinang di bawah kelopak matanya.
"Anak Kurang Ajar!"
"Ayah sudah merawat kamu sampai sebesar ini. Apa ini balasan kamu, Hah!"
Satu tamparan lagi kembali mendarat pada pipi Almira, hati gadis itu kini tengah menjerit keras. Merintih kesakitan,bukan karena tamparan dari ayahnya tapi karena sikap ayahnya yang sejak dulu tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Padahal, sampai detik ini yang diinginkan seorang Almira hanyalah sebuah pelukan kasih dari ayahnya, yang sama sekali belum pernah ia rasakan.
"Balapan liar lagi? Berapa kali Ayah bilang, jangan kamu buat malu Ayah.
"Kamu sadar tidak, kalau kamu itu masih menjadi putri dari seorang Profesor Roy Dewantoro.
"Belum puas kamu bikin malu Ayah sama tingkah preman kamu itu?"
Tamparan ketiga kembali mendarat, tapi si gadis remaja cantik itu masih diam membatu. Ia tidak mengangkat wajahnya dan tidak mengeluarkan sepatah katapun jawaban. Almira hanya terus berusaha menahan dan menahan agar cairan bening itu tidak keluar setetes pun dari netra safirnya.
Seorang pemuda berusia lebih dewasa dari Almira, sedari tadi sudah ingin membela gadis itu tapi rasa takut di hatinya seolah menahan pergerakan tangannya. Pemuda itu merasa tak berkutik jika berhadapan dengan pria beringas di depannya, tapi pada akhirnya ia harus melawan rasa takutnya karena melihat tubuh Almira yang sudah menggigil hebat.
"Om sudah Om, kasihan Almira," bujuk Joan -nama pemuda itu- sembari tangannya merangkul pundak Almira untuk menenangkan tubuh gadis itu.
Almira yang mendapatkan 3 tamparan sekaligus di pipinya hanya bisa meratapi kesedihan hatinya. Rumah yang seharusnya bisa membuatnya aman, tempat untuknya meletakan sebuah beban dan permasalahan yang ia bawa dari luar, tempat untuknya berteduh dari panasnya situasi dan keadaan di luar, tempat yang harusnya bisa ia jadikan sebagai benteng perlindungan dirinya tapi kenyataannya, justru rumahlah sumber air matanya.
Sumber air mata yang membuat dirinya harus menahan kepedihan di setiap harinya. Tidak adanya rasa aman, pusat awal beban dan permasalahannya, tidak adanya tempat berteduh, dan tidak adanya benteng untuk melindungi dirinya. Seolah neraka dunia berkumpul menjadi satu di rumahnya.
***
Sorot mata nyalang terpancar jelas dari dua bola mata Roy Dewantoro saat mendengar Joan menghentikan kemarahannya pada Almira.
"Joan ... kamu sendiri juga bagaimana? Om sudah menyuruhmu untuk menjaga Anak Sialan ini tapi kenapa masih bisa kamu kecolongan, Hah?"
Joan Alexis hanya menunduk ketakutan. Jujur saja ia jadi merasa bersalah pada Almira karena sudah lalai dalam mengawasinya hingga Almira bisa kembali ke arena balap liar bersama teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VEE : THE ASSASSIN (END)
Romansa"Kalau aku tidak bisa memilikimu di dunia nyataku, dapatkah aku memilikimu di dunia mimpiku?" "Kenapa harus kamu anak dari pembunuh ayahku." "Apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengan anak dari pembunuh ayahmu sendiri?" Mata itu menatap...